Di sebuah sekolah, ada kebiasaan menarik terkait penggunaan seragam. Setiap hari Sabtu seluruh guru wajib mengenakan
seragam olahraga, meskipun pada hari tersebut tidak ada kegiatan olahraga. Karena
seragam olahraga yang dimiliki para guru cukup banyak (mubazir jika ada seragam
baru kemudian yang lama ditinggalkan), maka disusunlah jadwal penggunaan
seragam.
Pada minggu pertama setiap bulan,
semua guru mengenakan seragam warna merah, minggu kedua warna putih, minggu
ketiga warna biru, dan pada minggu keempat dan kelima kembali mengenakan
seragam merah dan putih.
Agar tidak lupa dengan jadwal
yang telah disepakati, biasanya pada hari Jumat saat briefing siang sebelum pulang, kepala sekolah rutin mengingatkan para
guru mengenai warna baju yang harus digunakan esok harinya.
Suatu ketika karena kesibukan
sebagai kepala sekolah, beliau lupa menjalankan rutinitasnya tersebut. Namun, seharusnya hal itu tidak menjadi masalah, karena masing-masing guru sudah memegang
jadwal penggunaan seragam lengkap dengan Surat Keputusan Kepala Sekolah (SK).
Keesokan harinya ketika tiba di
sekolah, Pak Damar salah seorang guru di sekolah tersebut sedikit heran, karena
ternyata rekan-rekannya yang lain mengenakan seragam merah, kecuali dirinya yang
dengan PD-nya mengenakan seragam putih.
Dalam hati Pak Damar berpikir, “Wah,
saya salah jadwal nih!” Setibanya di meja kerja, beliau kembali melihat
kalender dan jadwal penggunaan seragam dan ternyata tidak ada yang salah. Hari
itu masih masuk dalam hitungan minggu pertama yang artinya seragam yang
digunakan seharusnya memang warna putih.
Anehnya, meskipun Pak Damar
benar, tetapi karena yang dominan adalah guru-guru berseragam merah, maka dirinyalah yang dianggap salah. Salah satu rekan guru bahkan sempat bergumam, “Sudah diinformasikan
kok masih salah!”
Sebenarnya Pak Damar bisa saja
meminta izin pulang untuk mengganti baju, karena jarak antara rumah dan sekolah
tidak begitu jauh. Pak Damar masih punya waktu tiga puluh menit sebelum bel
masuk kelas berbunyi dan waktu tersebut lebih dari cukup untuk mengganti baju. Namun, hal tersebut tidak beliau lakukan karena beliau sudah
memastikan bahwa dirinya benar.
Jam keenam setelah bel istirahat
kedua berbunyi, Pak Damar kembali ke ruang guru untuk beristirahat. Di tengah rasa
tidak nyaman karena dianggap salah seragam, seorang rekan guru tiba-tiba berkata, “Eh, sepertinya
Pak Damar benar lo, hari inikan masih masuk hitungan minggu pertama, seharusnya
kita memang mengenakan baju putih!” katanya sambil menunjuk kalender yang
tergantung di dinding dekat papan pengumuman.
Mendengar perkataan tersebut, respon
dari rekan-rekan Pak Damar beragam, sebagian besar hanya diam, ada juga yang tersenyum,
dan ada pula yang secara diam-diam melihat kembali kalender dan jadwal
penggunaan seragam di meja kerjanya. Namun yang pasti, tidak ada satupun guru
yang pulang ke rumah untuk mengganti baju.
Setelah ditelusuri lebih lanjut,
ternyata kesalahan penggunaan seragam tersebut disebabkan oleh salah seorang
guru yang mengirimkan pesan singkat ke seluruh guru pada Jumat malam sebelumnya. Pesan tersebut
menginfromasi bahwa hari Sabtu seluruh karyawan mengenakan seragam merah. Sepertinya
beliau mengirim informasi tanpa melihat jadwal terlebih dahulu. Beruntung pesan
tersebut tidak masuk ke ponsel Pak damar sehingga beliau tidak ikut terlibat dalam
kesalahan masal tersebut.
Kisah Pak Damar menunjukkan pada
kita bahwa bahwa ukuran benar-salah terkadang tidak selalu bersifat objektif
dan berdasarkan fakta, kebanyakan malah berdasarkan kesepakatan bersama. Anda berbuat salah
namun Anda memiliki banyak follower
dan orang-orang berpengaruh berada di pihak Anda, maka kesalahan yang Anda
perbuat bisa saja berbalik menjadi sebuah kebenaran yang disepakati.
Sebaliknya, Anda benar namun Anda berjalan sendirian, maka tidak menutup
kemungkinan pula kebenaran yang Anda perjuangkan justru dipandang salah dan justru
bisa membunuh diri Anda sendiri. (WELLY
SERAN)