POIN-POIN PENTING DALAM PP No. 35 TAHUN 2021 TENTANG PKWT, ALIH DAYA, WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT, DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Waktu Kerja Lembur

Pasal 26 

  1. Waktu Kerja Lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat)jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
  2. Ketentuan Waktu Kerja Lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi.

Pasal 27

  1. Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (2), wajib membayar Upah Kerja Lembur.
  2. Kewajiban membayar Upah Kerja Lembur dikecualikan bagi Pekerja/Buruh dalam golongan jabatan tertentu.
  3. Pekerja/Buruh dalam golongan jabatan tertentu mempunyai tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana, dan latau pengendali jalannya Perusahaan dengan waktu kerja tidak dapat dibatasi dan mendapat Upah lebih tinggi.
  4. Pengaturan golongan jabatan tertentu diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
  5. Apabila golongan jabatan tertentu tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama maka Pengusaha wajib membayar Upah Kerja Lembur.

Pasal 28 

  1. Untuk melaksanakan Waktu Kerja Lembur harus ada perintah dari Pengusaha dan persetujuan dari Pekerja/Buruh yang bersangkutan secara tertulis dan/atau melalui media digital.
  2. Perintah dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat dalam bentuk daftar Pekerja/Buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditanda-tangani oleh Pekerja/Buruh yang bersangkutan dan Pengusaha.
  3. Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama Pekerja/Buruh yang bekerja lembur dan lamanya Waktu Kerja Lembur.

Pasal 29

Ayat (1) 

Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh selama Waktu Kerja Lembur berkewajiban: 

  1. membayar Upah Kerja Lembur;
  2. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya; dan 
  3. memberikan makanan dan minuman paling sedikit 1.400 (seribu empat ratus) kilo kalori, apabila kerja lembur dilakukan selama 4 (empat) jam atau lebih. 

Ayat (2)

Pemberian makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dapat digantikan dalam bentuk uang.

Pasal 30

Ketentuan Waktu Kerja Lembur berlaku untuk semua Perusahaan, kecuali bagi Perusahaan pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 24.


Upah Kerja Lembur 

Pasal 31 

Ayat (1)

Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (2) wajib membayar Upah Kerja Lembur dengan ketentuan:

  1. untuk jam kerja lembur pertama sebesar 1,5 (satu koma lima) kali Upah sejam; dan
  2. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, sebesar 2 (dua) kali Upah sejam. 

Ayat (2)

Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Upah Kerja Lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, dengan ketentuan: 

a.  perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan sebagai berikut: 

  • Jam pertama sampai dengan jam ketujuh, dibayar 2 (dua) kali Upah sejam; 
  • Jam kedelapan, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan 
  • Jam kesembilan, jam kesepuluh, dan jam kesebelas, dibayar 4 (empat) kali Upah sejam; 

b. jika hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan sebagai berikut: 

  • Jam pertama sampai dengan jam kelima, dibayar 2 (dua) kali Upah sejam;
  • Jam keenam, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan 
  • Jam ketujuh, jam kedelapan, dan jam kesembilan, dibayar 4 (empat) kali Upah sejam. 

Ayat (3)

Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Upah Kerja Lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, dengan ketentuan perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan sebagai berikut: 

  • jam pertama sampai dengan jam kedelapan, dibayar 2 (dua) kali Upah sejam; 
  • jam kesembilan, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan 
  • jam kesepuluh, jam kesebelas, dan jam kedua belas, dibayar 4 (empat) kali Upah sejam.


Pasal 32 

  1. Perhitungan Upah Kerja Lembur didasarkan pada Upah bulanan.
  2. Cara menghitung Upah sejam, yaitu I l/l73 (satu per seratus tujuh puluh tiga) kali Upah sebulan.
  3. Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan Upah Kerja Lembur l00% (seratus persen) dari Upah.
  4. Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap, apabila Upah pokok ditambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75% (tujuh puluh lima persen) keseluruhan Upah maka dasar perhitungan Upah Kerja Lembur sama dengan 75% (tujuh puluh lima persen) dari keseluruhan Upah. 

Pasal 33 

Ayat (1) 

Dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayar secara harian maka penghitungan besarnya Upah sebulan dilaksanakan dengan ketentuan : 

  • Upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima), bagi Pekerja/Buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
  • Upah sehari dikalikan 21 (dua puluh satu), bagi Pekerja/Buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. 

Ayat (2)

Dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, Upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. 

Ayat (3)

Dalam hal Upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 lebih rendah dari Upah minimum maka Upah sebulan yang digunakan untuk dasar penghitungan Upah Kerja Lembur yaitu Upah minimum yang berlaku di wilayah tempat Pekerja/Buruh bekerja.

Pasal 34 

  1. Dalam hal Perusahaan telah melaksanakan pembayaran Upah Kerja Lembur dengan sebutan lain dan nilai perhitungan Upah Kerja Lembur sama dengan atau lebih baik maka perhitungan Upah Kerja Lembur tetap berlaku
  2. Upah Kerja Lembur dengan sebutan lain dan nilai perhitungannya yang telah dilaksanakan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Upah Kerja Lembur sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. 
  3. Pelaksanaan pembayaran Upah Kerja Lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

SIMULASI PERHITUNGAN UPAH LEMBUR PADA HARI SABTU

Saskia adalah seorang pegawai tetap dengan rincian kompensasi sebagai berikut:
Gaji Pokok Rp2.850.500
Tunjangan Suami Rp285.050
Tunjangan Anak Rp57.010
Tunjangan Kompetensi Rp821.250 
Tunjangan Transportasi Rp275.000

Dia bekerja 5 hari atau 40 jam seminggu. Saskia ditugaskan untuk lembur selama 4 jam pada hari Sabtu. Berapa seharusnya upah lembur yang diterima Saskia?

 

Share:

POIN-POIN PENTING DALAM UNDANG-UNDANG No. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Pasal 50 

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Pasal 51 

  1. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. 
  2. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Pasal 52

  1. Perjanjian kerja dibuat atas dasar: (a) kesepakatan kedua belah pihak; (b) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; (c) adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan (d) pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
  2. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
  3. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pasal 54 

  1. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat: (a) nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; (b) nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; (c) jabatan atau jenis pekerjaan; (d) tempat pekerjaan; (e) besarnya upah dan cara pembayarannya; (f) syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; (g) mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; (h) tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan (i) tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
  2. Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
  3. Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55 

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

Pasal 56

  1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
  2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: (a) jangka waktu; atau (b) selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 57 

  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
  2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
  3. Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58

  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja
  2. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. 

Pasal 59 

  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; (b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; (c) pekerjaan yang bersifat musiman; atau (d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
  2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
  3. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
  4. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  5. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
  6. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
  7. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
  8. Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 60 

  1. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan
  2. Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 62 

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Pasal 63

  1. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
  2. Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan: (a) nama dan alamat pekerja/buruh; (b) tanggal mulai bekerja; (c) jenis pekerjaan; dan (d) besarnya upah.

Pasal 68 

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 69 

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. 
  2. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) ha-rus memenuhi persyaratan: (a) izin tertulis dari orang tua atau wali; (b) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; (c) waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; (d) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; (e) keselamatan dan kesehatan kerja; (f) adanya hubungan kerja yang jelas; dan (g) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70 

  1. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. 
  2. Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun
  3. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat : (a) diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan  (b) diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71 

  1. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
  2. Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : (a) di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; (b) waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan (c) kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
  3. Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72 

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 78 

  1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat : (a) ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan (b) waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
  2. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
  3. Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
  4. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79 

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. 

(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :

  • istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; 
  • istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
  • cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
  • istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terusmenerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. 

Pasal 80 

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81

  1. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82

  1. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
  2. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Pasal 83 

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Pasal 84 

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Pasal 85 

  1. Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
  2. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada harihari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus- menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
  3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. (4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pengupahan

Pasal 88 

  1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
  2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
  3. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi : (a) upah minimum; (b) upah kerja lembur; (c) upah tidak masuk kerja karena berhalangan; (d) upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; (e) upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; (f) bentuk dan cara pembayaran upah; (g) denda dan potongan upah; (h) hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; (i) struktur dan skala pengupahan yang proporsional; dan (i) upah untuk pembayaran pesangon; dan
  4. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Pasal 89 

  1. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas : (a) upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; (b) upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
  2. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
  3. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. 
  4. Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90 

  1. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
  2. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
  3. Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 91

  1. Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92 

  1. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
  2. Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
  3. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 93

Ayat (1)

Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

Ayat (2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila : 

  • pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; 
  • pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
  • pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
  • pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
  • pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  • pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
  • pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
  • pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
  • pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Ayat (3) 
Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut: 

  • untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah; 
  • untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
  • untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan 
  • untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

 Ayat (4)

Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud              dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut : 

  • pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari; 
  • menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; 
  • mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
  • membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
  • isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
  • suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan 
  • anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari. 

 Ayat (5) 

Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


Pasal 95 

  1. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. 
  2. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
  3. Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah. 
  4. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Pasal 96 

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.

Pasal 101 

  1. Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan. 
  2. Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
  3. Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
  4. Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Peraturan Perusahaan

Pasal 108 

  1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
  2. Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 111 

  1. Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat: (a) hak dan kewajiban pengusaha; (b) hak dan kewajiban pekerja/buruh; (a) syarat kerja; (b) tata tertib perusahaan; dan (c) jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
  2. Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
  3. Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.

Pasal 153 

Ayat (1)

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan : 

  • pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus
  • pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 
  • pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; 
  • pekerja/buruh menikah; 
  • pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; 
  • pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; 
  • pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  • pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; 
  • karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
  • pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Ayat (2) 
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.


Pasal 156 

Ayat (1) 

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. 

Ayat (2) 

Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut : 

  • masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; 
  • masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  • masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  • masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; 
  • masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. 
  • masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; 
  • masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. 
Ayat (3) 
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai be-rikut : 
  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; 
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; 
  • masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; 
  • masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  • masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  • masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  • masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  • masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. 

Ayat (4) 

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : 

  • cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; 
  • biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; 
  • hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 

Ayat (5)

Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 157 

Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas: 

  1. upah pokok;
  2. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh. 


Pasal 158 

Ayat (1) 

Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut : 

  • melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; 
  • memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; 
  • mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; 
  • melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; 
  • menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; 
  • membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 
  • dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; 
  • dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; 
  • membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau 
  • melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 

Ayat (2)

Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut : 

  1. pekerja/buruh tertangkap tangan;
  2. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
  3. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. 

Ayat (3) 

Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4). 

Ayat (4) 

Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


Pasal 161 

  1. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
  2. Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
  3. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).


Pasal 162

  1. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
  2. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
  3. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat : (a) mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; (b) tidak terikat dalam ikatan dinas; dan (c) tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
  4. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


Pasal 164 

  1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 
  2. Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
  3. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 168 

  1. Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
  2. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja. 

Share:

POIN-POIN PENTING DALAM PERMENDIKBUD No. 29 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN FOTOKOPI IJAZAH ATAU SURAT KETERANGAN PENGGANTI IJAZAH

PENGESAHAN FOTOKOPI IJAZAH/STTB, IJAZAH PAKET, SKYBS, SURAT KETERANGAN PENGGANTI IJAZAH/STTB DAN SURAT KETERANGAN PENYETARAAN 

Pasal 2

  1. Pengesahan fotokopi ijazah/STTB dan surat keterangan pengganti ijazah/STTB dilakukan oleh kepala satuan pendidikan yang mengeluarkan ijazah/STTB yang bersangkutan.
  2. Pengesahan fotokopi ijazah/STTB dan surat keterangan pengganti ijazah/STTB yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang bergabung dilakukan oleh kepala satuan pendidikan hasil penggabungan.
  3. Pengesahan fotokopi ijazah/STTB dan surat keterangan pengganti ijazah/STTB yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang sudah berganti nama dilakukan oleh kepala satuan pendidikan sesuai nomenklatur (penamaan yang dipakai dalam bidang atau ilmu tertentu; tata nama) baru.
  4. Pengesahan fotokopi ijazah/STTB dan surat keterangan pengganti ijazah/STTB yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang sudah tidak beroperasi atau ditutup dilakukan oleh Kepala Dinas kabupaten/kota yang membidangi pendidikan di kabupaten/kota yang bersangkutan.
  5. Pengesahan fotokopi ijazah paket dan surat keterangan pengganti ijazah paket yang dikeluarkan oleh Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi pendidikan dilakukan oleh Kepala Dinas kabupaten/kota yang membidangi pendidikan di kabupaten/kota yang bersangkutan.
  6. Pengesahan fotokopi ijazah/STTB dan surat keterangan pengganti ijazah/STTB bagi pemohon yang berdomisili di kabupaten/kota yang berbeda dengan kabupaten/kota sekolah asal dapat dilakukan oleh Kepala Dinas kabupaten/kota yang membidangi pendidikan di tempat pemohon berdomisili.
  7. Pengesahan fotokopi SKYBS dan surat keterangan pengganti SKYBS yang dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi dilakukan oleh Kepala Dinas Provinsi yang membidangi pendidikan di Provinsi yang bersangkutan.
  8. Pengesahan fotokopi ijazah/STTB yang diperoleh dari Sekolah  Indonesia di Luar Negeri (SILN) dilakukan oleh kepala sekolah yang bersangkutan.
  9. Pengesahan fotokopi ijazah/STTB yang diperoleh dari Sekolah Indonesia di Luar Negeri (SILN) bagi pemohon yang tidak lagi berdomisili di tempat sekolah asal dilakukan oleh Direktur Jenderal terkait atau Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi pendidikan tempat pemohon berdomisili.
  10. Pengesahan fotokopi ijazah/STTB yang diperoleh dari satuan pendidikan di Provinsi Timor Timur sebelum memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilakukan oleh Direktur Jenderal terkait atau Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi pendidikan tempat pemohon berdomisili.

Pasal 5 

Pengesahan fotokopi ijazah/STTB, SKYBS, ijazah paket kesetaraan, dan surat keterangan pengganti ijazah/STTB dilakukan oleh pejabat yang berwenang apabila pemohon dapat menunjukkan ijazah asli atau Surat Keterangan Pengganti ijazah asli dan bersedia menandatangani surat pernyataan tanggungjawab mutlak di atas materai


PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENGGANTI IJAZAH/STTB, IJAZAH PAKET DAN SKYBS 

Pasal 6 

  1. Penerbitan surat keterangan pengganti Ijazah/STTB karena Ijazah yang asli hilang atau rusak tidak dapat dibaca sebagian atau seluruhnya dilakukan oleh kepala satuan pendidikan yang bersangkutan dan diketahui oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan syarat pemohon dapat menunjukkan Surat Keterangan kehilangan dari kepolisian dan Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak ditanda tangani di atas materai.
  2. Penerbitan surat keterangan pengganti Ijazah/STTB karena ijazah yang asli hilang atau rusak tidak dapat dibaca sebagian atau seluruhnya dilakukan oleh kepala satuan pendidikan hasil penggabungan dan diketahui oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota  apabila satuan pendidikan sudah digabung dengan syarat pemohon dapat menunjukkan Surat Keterangan kehilangan dari kepolisian dan Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak ditandatangani di atas materai.
  3. Penerbitan surat keterangan pengganti Ijazah/STTB karena ijazah yang asli hilang atau rusak tidak dapat dibaca sebagian atau seluruhnya dilakukan oleh kepala satuan pendidikan sesuai nomenklatur baru, dan diketahui oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, apabila satuan pendidikan sudah berganti nama dengan syarat pemohon dapat menunjukkan Surat Keterangan kehilangan dari kepolisian dan Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak ditanda tangani di atas materai.
  4. Penerbitan surat keterangan pengganti Ijazah/STTB karena ijazah yang asli hilang atau rusak tidak dapat dibaca sebagian atau seluruhnya dilakukan oleh kepala dinas kabupaten/kota asal yang membidangi pendidikan apabila satuan pendidikan sudah tidak beroperasi atau tutup dengan syarat pemohon dapat menunjukkan Surat Keterangan kehilangan dari kepolisian, Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak ditanda tangani di atas materai dan menghadirkan 2 (dua) orang saksi teman lulus satu angkatan pada sekolah yang sama dengan menunjukkan bukti yang sah.
  5. Format Penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini. 

Pasal 7 

  1. Penerbitan surat keterangan pengganti Ijazah/STTB karena ijazah yang asli hilang atau rusak tidak dapat dibaca sebagian atau seluruhnya bagi pemohon yang tidak ada data diri pada sekolah maupun dinas setempat tapi pemohon memiliki bukti 2 (dua) orang saksi teman lulus satu angkatan pada sekolah yang sama, dilakukan kepala satuan pendidikan yang bersangkutan dengan syarat pemohon dapat menunjukkan Surat Keterangan kehilangan dari kepolisian, Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak ditanda tangani di atas materai dan menghadirkan 2 (dua) orang saksi teman lulus satu angkatan pada sekolah yang sama.
  2. Penerbitan surat keterangan pengganti Ijazah/STTB karena ijazah yang asli hilang atau rusak bagi pemohon yang tidak ada data dirinya pada salah satu jenjang pendidikan atau lebih maupun dinas setempat dan pemohon tidak memiliki bukti apapun, dilakukan oleh kepala dinas kabupaten/kota yang membidangi pendidikan setempat dengan syarat pemohon dapat menunjukkan Surat Keterangan kehilangan dari kepolisian, Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak ditanda tangani di atas materai dan harus melalui proses penyidikan oleh Kepolisian dibuktikan dengan Berita Acara Pemeriksaan.

Pasal 9 

Untuk menerbitkan surat keterangan pengganti Ijazah/STTB, ijazah Paket/Kesetaraan, dan SKYBS karena Ijazah/STTB, ijazah Paket/Kesetaraan, dan SKYBS yang asli hilang atau rusak sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dan Pasal 7, pejabat yang berwenang harus melakukan pengecekan bukti bukti yang ada.


Ketentuan tambahan terkait Ijazah dapat dilihat pada Permendibud No.  14  Tahun 2017 tentang Ijazah dan Setifikat Hasil Ujian Nasional berikut

Share:

POIN-POIN PENTING DALAM PERMENDIKBUDRISTEK No. 15 TAHUN 2018 TENTANG PEMENUHAN BEBAN KERJA GURU, KEPALA SEKOLAH, DAN PENGAWAS SEKOLAH

Pasal 2

  1. Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah melaksanakan beban kerja selama 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu pada satuan administrasi pangkal.
  2. Beban kerja selama 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja efektif dan 2,5 (dua koma lima) jam istirahat.
  3. Dalam hal diperlukan, sekolah dapat menambah jam istirahat yang tidak mengurangi jam kerja efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 3

  1. Pelaksanaan beban kerja selama 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja efektif sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) bagi Guru mencakup kegiatan pokok: (a) merencanakan pembelajaran atau pembimbingan; (b) melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan; (c) menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan; (d) membimbing dan melatih peserta didik; dan (e) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan Beban Kerja Guru.
  2. Pemenuhan beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. 

Pasal 4

  1. Merencanakan pembelajaran atau pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi: (a) pengkajian kurikulum dan silabus pembelajaran/ pembimbingan/program kebutuhan khusus pada satuan pendidikan; (b) pengkajian program tahunan dan semester; dan (c) pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran/pembimbingan sesuai standar proses atau rencana pelaksanaan pembimbingan.
  2. Melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b merupakan pelaksanaan dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)/Rencana Pelaksanaan Layanan (RPL)/Rencana Pelaksanaan Bimbingan (RPB).
  3. Pelaksanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipenuhi paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam Tatap Muka per minggu dan paling banyak 40 (empat puluh) jam Tatap Muka per minggu.
  4. Pelaksanaan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipenuhi oleh Guru Bimbingan dan Konseling atau Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan membimbing paling sedikit 5 (lima) rombongan belajar per tahun.
  5. Menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik pada aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
  6. Membimbing dan melatih peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dapat dilakukan melalui kegiatan kokurikuler dan/atau kegiatan ekstrakurikuler.
  7. Tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan tugas pokok sesuai dengan beban kerja Guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e meliputi: (a) wakil kepala satuan pendidikan; (b) ketua program keahlian satuan pendidikan; (c) kepala perpustakaan satuan pendidikan; (d) kepala laboratorium, bengkel, atau unit produksi/ teaching factory satuan pendidikan; (e) pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif atau pendidikan terpadu; atau (f) tugas tambahan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e yang terkait dengan pendidikan di satuan pendidikan.
  8. Tugas tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a sampai dengan huruf e dilaksanakan pada satuan administrasi pangkalnya. 

Pasal 5 

  1. Tugas tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7) huruf a sampai dengan huruf d diekuivalensikan dengan 12 (dua belas) jam Tatap Muka per minggu bagi Guru mata pelajaran atau pembimbingan terhadap 3 (tiga) rombongan belajar per tahun bagi Guru Bimbingan dan Konseling atau Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk pemenuhan beban kerja dalam melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4).
  2. Tugas tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7) huruf e diekuivalensikan dengan 6 (enam) jam Tatap Muka per minggu bagi Guru pendidikan khusus untuk pemenuhan beban kerja dalam melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4). 

Pasal 6 

  1. Tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7) huruf f meliputi: (a) wali kelas; (b) pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS); (c) pembina ekstrakurikuler; (d) koordinator Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)/Penilaian Kinerja Guru (PKG) atau koordinator Bursa Kerja Khusus (BKK) pada SMK; (e) Guru piket; (f) ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama (LSP-P1); (g) penilai kinerja Guru; (h) pengurus organisasi/asosiasi profesi Guru; dan/atau (i) tutor pada pendidikan jarak jauh pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
  2. Tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g dilaksanakan pada satuan administrasi pangkalnya.
  3. Tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i dapat dihitung sebagai pemenuhan jam Tatap Muka sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
  4. Tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diekuivalensikan secara kumulatif dengan paling banyak 6 (enam) jam Tatap Muka per minggu bagi Guru mata pelajaran.
  5. Pelaksanaan 2 (dua) atau lebih tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Guru Bimbingan dan Konseling atau Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi dapat diekuivalensikan dengan pelaksanaan  pembimbingan terhadap 1 (satu) rombongan belajar per tahun.
  6. Rincian ekuivalensi tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
  7. Guru yang mendapat tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi pelaksanaan pembelajaran jam tatap muka paling sedikit 18 (delapan belas) jam Tatap Muka per minggu bagi Guru mata pelajaran atau paling sedikit membimbing 4 (empat) rombongan belajar per tahun bagi Guru Bimbingan dan Konseling atau Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi pada satuan administrasi pangkalnya.
  8. Dalam hal Guru mata pelajaran tidak dapat memenuhi kewajiban pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Guru yang bersangkutan dapat melaksanakan pembelajaran pada satuan pendidikan lain dalam 1 (satu) zona yang ditetapkan oleh Dinas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Guru mata pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) melaksanakan kewajiban pelaksanaan pembelajaran paling sedikit 12 (dua belas) jam Tatap Muka per minggu pada satuan administrasi pangkalnya dan paling banyak 6 (enam) jam Tatap Muka per minggu pada satuan pendidikan sesuai dengan zona yang ditetapkan oleh Dinas. 

Pasal 7 

  1. Guru yang melaksanakan tugas tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7) huruf a sampai dengan huruf e juga dapat melaksanakan tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
  2. Pelaksanaan tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan sebagai pengganti pemenuhan pelaksanaan pembelajaran atau pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) namun diperhitungkan sebagai pemenuhan beban kerja selama 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Pasal 8 

  1. Kepala Sekolah menetapkan Guru yang melaksanakan tugas tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7).
  2. Penetapan Guru yang melaksanakan tugas tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan perhitungan kebutuhan guru berdasarkan struktur kurikulum dan jumlah rombongan belajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
  3. Apabila setelah dilakukan perhitungan kebutuhan Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih terdapat Guru yang tidak dapat memenuhi pelaksanaan pembelajaran atau pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) atau terdapat kekurangan guru, maka Kepala Sekolah wajib melaporkan kepada Dinas sesuai dengan kewenangannya.
  4. Dinas yang telah menerima laporan dari Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melakukan penataan dan pemerataan Guru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 9 

  1. Beban Kerja Kepala Sekolah sepenuhnya untuk melaksanakan tugas: (a) manajerial; (b) pengembangan kewirausahaan; dan (c) supervisi kepada Guru dan tenaga kependidikan.
  2. Beban kerja Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ekuivalen dengan pelaksanaan pembelajaran atau pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) yang merupakan bagian dari pemenuhan beban kerja selama 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
  3. Rincian ekuvalensi beban kerja kepala sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 
  4. Kepala Sekolah dapat melaksanakan tugas pembelajaran atau pembimbingan apabila terdapat Guru yang tidak melaksanakan tugas pembelajaran atau pembimbingan karena alasan tertentu yang bersifat sementara atau tetap atau belum tersedia Guru yang mengampu pada mata pelajaran atau kelas tertentu.

Pasal 11 

  1. Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah wajib melaksanakan kegiatan PKB untuk pengembangan kapasitas sebagai Guru, Kepala Sekolah, atau Pengawas Sekolah.
  2. Kegiatan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai pemenuhan beban kerja selama 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. 
  3. Kegiatan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 13 

  1. Pemenuhan paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam Tatap Muka per minggu dalam pelaksanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dapat dikecualikan bagi: (a) Guru tidak dapat memenuhi ketentuan minimal 24 (dua puluh empat) jam Tatap Muka per minggu, berdasarkan struktur kurikulum; (b) Guru pendidikan khusus;  (c) Guru pendidikan layanan khusus; dan  (d) Guru pada Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN).
  2. Pemenuhan pelaksanaan pembimbingan paling sedikit terhadap 5 (lima) rombongan belajar per tahun dalam pelaksanaan pembimbingan oleh Guru Bimbingan dan Konseling atau Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dapat dikecualikan dalam hal jumlah rombongan belajar dalam satuan pendidikan kurang dari 5 (lima) rombongan belajar.

Share:

Pengunjung:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.