Sumber gambar: http://digitalsense.co.id |
Ibarat
permainan sepakbola, sebuah tim membutuhkan kompetisi untuk bisa membuktikan
kualitasnya. Dari hasil akhir kompetisi dapat diketahui mana tim papan atas,
tim papan tengah, dan tim papan bawah. Dari hasil kompetisi tersebut pula
lembaga tertinggi yang mengurusi sepakbola dapat melakukan pemetaan dan
menetapkan pola pembinaan yang tepat agar
perbedaan kualitas tim yang berkompetisi tidak terlampau jauh.
Sama halnya dengan kompetisi dalam sepakbola, Ujian Nasional juga diperlukan dalam sistem pendidikan kita. UN jangan hanya dipandang sebagai instrumen penilaian untuk menentukan siswa lulus atau tidak lulus, tetapi ada hal lain yang lebih penting, yaitu fungsi pemetaan. Hasil UN dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan untuk memberikan rekomendasi kepada para guru, agar terus meningkatkan kualitas proses pembelajaran di sekolah masing-masing.
Sama halnya dengan kompetisi dalam sepakbola, Ujian Nasional juga diperlukan dalam sistem pendidikan kita. UN jangan hanya dipandang sebagai instrumen penilaian untuk menentukan siswa lulus atau tidak lulus, tetapi ada hal lain yang lebih penting, yaitu fungsi pemetaan. Hasil UN dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan untuk memberikan rekomendasi kepada para guru, agar terus meningkatkan kualitas proses pembelajaran di sekolah masing-masing.
Memangkas anggaran dan meminimalisi perilaku mencontek selalu dijadikan alasan ketika gagasan menghapus UN dimunculkan. Padahal, dengan melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) sejak 2015, Kemendikbud menyatakan telah berhasil memangkas anggaran pelaksanaan UN hingga 74%. Angka yang tentu akan terus mengalami peningkatan tatkala UNBK seratus persen diterapkan di seluruh Indonesia pada tahun 2019 seperti yang ditargetkan oleh Kemendikbud. Mengacu pada data tersebut, sangat jelas bahwa menghapus UN dengan alasan menghemat anggaran tidak lagi relevan dikemukakan.
Perilaku mencontek yang dikhawatirkan selama pelaksanaan UN, ternyata juga dapat diminimalisasi dengan variasi paket soal yang diujikan. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyatakan bahwa UNBK terbukti efektif meningkatkan indeks integritas dalam pelaksanaan UN. Pada tahun 2018, sebanyak 71% sekolah mampu meraih indeks integritas ujian nasional tinggi, meningkat drastis dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 21%. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kecurangan menurun drastis dengan penerapan UNBK. Lagi-lagi, argumentasi meminimalisasi perlaku mencontek ternyata juga tidak relevan lagi dijadikan sebagai alasan untuk menghapus UN.
Kalaupun UN betul-betul
dihapuskan, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah instrumen seperti apa lagi
yang akan digunakan untuk mengevaluasi kualitas pendidikan kita? Para pemangku
kepentingan tentu tidak bisa hanya menawarkan sesuatu yang bersifat abstrak dan
belum diterjemahkan ke dalam cetak biru (blueprint),
karena hal tersebut hanya akan merusak tatanan yang sudah ada. Memfokuskan
pendidikan pada pengembangan minat dan bakat, seperti yang baru-baru ini
disampaikan oleh salah satu cawapres memang baik, tetapi bukan berarti UN sebagai
instrumen evaluasi dan pemetaan secara nasional dihapuskan.
Sebagai
pengajar, saya peribadi mengapresiasi kebijakan pemerintah yang sejak tahun 2015
tidak lagi menjadikan UN sebagai faktor penentu kelulusan, karena hal tersebutlah
yang selama ini banyak mendapat protes dari para guru dan pengamat pendidikan.
Namun demikian, UN sebagai instrumen evaluasi nasional tetap diperlukan, karena
evaluasi dalam dunia pendidikan merupakan hal yang mendasar dan mutlak harus
diberikan, untuk mengukur sejauh mana penguasaan siswa terhadap apa yang sudah
mereka pelajari. Justru dengan kebijakan yang berjalan sekarang, di mana guru diberi
wewenang penuh untuk menentukan kelulusan siswa, akan semakin meningkatkan
otonomi guru di sekolah.
Jika UN Dihapuskan
Secara
psikologis penghapusan UN dari sistem pendidikan nasional dikhawatirkan akan
menurunkan daya juang dan minat belajar siswa. Sama halnya seperti pemain bola
yang berlatih terus-menerus, tetapi tidak bisa mengikuti kompetisi, ia tidak
akan pernah tahu sejauh mana peningkatan kualitas permainannya. Yang mungkin terjadi
selanjutnya adalah si pemain akan kehilangan motivasi berlatih, karena tidak
ada kompetisi dan target yang harus dicapai.
Demikian
halnya dengan para siswa yang akan kehilangan motivasi belajar, karena tidak
ada tolok ukur yang jelas dan target yang harus dicapai apabila UN benar-benar
dihapuskan. Jangankan menghapus UN, meniadakan peringkat kelas untuk
sekolah-sekolah yang menerapkan Kurikulum 2013 saja sudah berpengaruh terhadap
motivasi belajar siswa. Orangtua siswa bahkan banyak yang mempertanyakan
kebijakan meniadakan peringkat kelas, karena dikhawatirkan akan menurunkan
semangat kompetisi di antara para siswa, yang akhirnya akan berpengaruh
terhadap daya juang dan motivasi belajar siswa.
Hal lain yang
tidak kalah penting diperhatikan adalah kebijakan pemerintah tidak lagi menjadikan
UN sebagai penentu kelulusan ternyata banyak disalahartikan oleh para siswa. Tidak
sedikit dari mereka yang beranggapan bahwa sekolah sekarang mudah, tidak perlu
bersusah payah, sudah pasti naik kelas dan lulus Ujian Nasional. Anggapan tersebut
muncul, karena para siswa yakin, tidak akan ada sekolah yang tidak menginginkan
siswanya lulus seratus persen.
Di sisi lain,
guru yang seharusnya lebih berwibawa dengan otonomi yang diberikan kepadanya untuk
menentukan kelulusan siswa, terkadang masih dibatasi oleh tuntutan untuk
menaikkan atau meluluskan semua siswa. Hal ini tentu saja terkait nama baik
sekolah yang dipertaruhkan kalau sampai ada siswa yang tidak lulus.
Berangkat dari persoalan-persoalan tersebut,
dapat kita bayangkan bagaimana dampak yang akan ditimbulkan apabila UN
betul-betul dihapuskan? Guru sebagai pihak yang akan merasakan langsung dampak
tersebut harus berani mengatakan tidak untuk gagasan menghapus UN, karena
gagasan tersebut hanya akan berdampak sistemik. (WELLYSERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar