Sumber gambar:http://www.theonlinecurrent.com |
Memiliki gadget dan aktif di media sosial menjadi salah satu ciri yang
melekat pada generasi milenial. Hampir setiap orang memiliki gadget dan akun di media sosial facebook, Instagram, twetter, wattshap,
line, youtube dan lain-lain. Akun media sosial mereka gunakan sebagai
sarana komunikasi, wadah menuangkan kreativitas, dan aktualisasi diri. Survei
Kementerian Komunikasi dan Informastika pada 2017 menyebutkan 65,34% anak usia
9 sampai dengan 19 tahun memilki gadget.
Jumlah tersebut tentu saja meningkat dari hari ke hari seiring semakin
terjangkaunya gadget dan akses
internet yang semakin luas dan murah.
Sayangnya, mobilitas generasi
milenial yang begitu tinggi dalam mengakses internet berbanding lurus dengan
jumlah remaja yang terpapar pornografi. Survei yang dilakukan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerjasama dengan Katapedia
menunjukkan bahwa paparan pornografi sebanyak 63.066 melalui google, Instagram, dan news online lainnya. Peri Umar Farouk
dalam buku Menjawab Tantangan Pornografi
Remaja Indonesia juga menjelaskan bahwa 90% dari 500 lebih video porno yang
telah beredar di masyarakat dilakukan oleh remaja yang merupakan orang asli
Indonesia, mereka pun masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa. Yang
patut diwaspadai dari pemaparan Peri Umar Farouk adalah bahwa ternyata usia
pelaku dan korban pornografi semakin muda, yaitu SMP.
Terkait pornografi di kalangan
remaja, dalam beberapa tahun terakhir muncul istilah baru yang merupakan bawaan
dari budaya Eropa, yaitu sexting. Sexting merupakan istilah yang merujuk
pada perilaku mengirimkan konten seksual, baik teks, gambar, atau video melalui
piranti elektronik. Aktivitas sexting
lazimnya dilakukan oleh pasangan suami-istri untuk mempertahankan kemesraan
dalam rumah tangga. Namun, apa jadinya kalau yang melakukan sexting adalah anak-anak di bawah umur dan
berstatus pelajar? Hal ini tentu sangat tidak baik bagi perkembangan generasi milenial
ke depan dalam menyongsong bonus demografi tahun 2020-2030.
Kecenderungan yang terjadi
menunjukkan, bahwa perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat terutama gadget, membuat para pelajar menjadi narsistik
dan haus eksistensi. Perilaku narsistik dan ingin selalu eksis tidak jarang
melemahkan nalar dan akal sehat, sehingga terkadang nekat melakukan hal-hal
yang secara nyata melanggar norma dan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan masyarakat.
Ketika apa yang dilakukan menimbulkan masalah, alasan yang diungkapkan sangatlah
sederhana, yaitu sekadar iseng, lucu-lucuan, ikut-ikutan, dokumentasi pribadi,
dan alasan-alasan lain yang terkadang terksesan tidak melalui tahap
pertimbangan yang matang.
Di lingkungan sekolah, sexting yang dilakukan oleh pelajar,
terutama pelajar SMA beberapa kali sempat terungkap. Media watshapp menjadi pilihan, karena sifatnya lebih privasi. Beberapa
siswa perempuan nekat mengirimkan foto atau video tanpa busana kepada teman
dekat atau pacar dengan alasan dangkal, membuktian cinta. Sayangnya, setelah tidak
lagi menjalin hubungan, foto atau video yang tadinya dikirim sebagai pembuktian
cinta, justru disebarkan kepada pihak lain, sehingga hal yang seharusnya privasi
menjadi konsumsi publik. Dampak yang ditimbulkan pun luar biasa. Dalam hal ini,
siswa perempuanlah yang paling dirugikan, karena malu akhirnya harus pindah
sekolah, dikucilkan oleh teman bahkan masyarakat, atau yang lebih ekstrem lagi dikucilkan
oleh keluarga sendiri.
Selain antarpersonal, sexting juga kerap dilakukan
berkelompok. Beberapa kelompok pelajar membuat grup yang anggotanya hanya dari
kalangan mereka yang memiliki pemikiran dan paham yang sama tentang narsistik
dan eksistensi. Dalam grup tersebut mereka berbagi pesan teks, gambar, atau
bahkan video yang mengandung muatan pornografi. Foto dan video yang dibagikan
tidak hanya konten-konten yang diperoleh dari internet, tetapi juga mengekploitasi
diri sendiri. Sexting di kalangan
pelajar jarang terungkap ke permukaan karena sekolah memiliki kepentingan untuk
menutupi kasus, karena masalah sexting
berkaitan langsung dengan pandangan masyarakat terhadap kualitas pendampingan
sekolah.
Penyebab sexting di kalangan
pelajar
Beberapa hal diduga menjadi penyebab
perilaku sexting. Pertama, Shock IT (kaget IT). Kemajuan teknologi yang begitu pesat, terutama
di bidang teknologi informasi membuat masyarakat pengguna terutama pelajar,
seperti kaget dengan berbagai kemudahan yang mereka terima. Misalnya saja kemudahan
mengabadikan momen, berbagi foto atau video, memublikasikan foto atau video
tanpa melalui proses penyaringan. Konten mana yang layak dan tidak disuguhkan
ke publik terkadang luput dari perhatian, karena keinginan untuk selalu eksis.
Konten yang dipublikasikan baru disadari berdampak negatif setelah menjadi
pembicaraan publik.
Kedua, iseng
dan ikut-ikutan. Seperti dikemukakan sebelumnya alasan yang sering disampaikan
oleh para pelaku atau korban sexting
adalah iseng dan ikut-ikutan. Mereka menjadi pelaku sexting karena mengikuti tren di kalangan remaja, tanpa memikirkan
dampak dari tindakan yang mereka lakukan. Keinginan untuk mencoba semakin
diperparah ketika pada saat yang sama, publik figur yang sering tampil ke
publik juga kurang memberikan teladan karakter unggul, beberapa bahkan justru
sebaliknya. Maka tidak heran, mengikuti kebiasaan tokoh idola juga terkadang
menjadi alasan remaja melakukan tindakan-tindakan negatif.
Ketiga, lemahnya
pengawasan sekolah dan orangtua. Bagi guru yang mendampingi siswa di sekolah,
mengawasi perilaku sexting tentu
tidak mudah karena gadget merupakan alat
komunikasi yang dimiliki oleh semua siswa dan sulit untuk dibatasi
penggunaannya. Bagaimanapun juga gadget
adalah simbol pembeda generasi milenial dengan generasi sebelumnya, sehingga
membatasi penggunaan gadget di
sekolah (terutama tingkat SMA) hampir tidak mungkin. Apalagi kurikulum yang
digunakan menuntut penguasaan teknologi bagi para siswa. Dari sisi orangtua,
kebanyakan orangtua kalah canggih dalam hal penggunaan gadget, sehingga tidak bisa maksimal dalam melakukan pengawasan.
Keempat,
kurangnya literasi. Dengan perkembangan teknologi informasi yang cepat dan
membuat pelajar shock IT, seharusnya diimbangi dengan
memaksimalkan gerakan literasi. Literasi teknologi informasi harus dilakukan untuk
mengurangi dampak negatif penggunaan gadget,
khususnya tentang bahaya paparan pornografi bagi remaja. Literasi teknologi
informasi saat ini belum maksimal dilakukan, di sekolah-sekolah sekalipun tidak
semua memberikan perhatian khusus terhadap masalah yang sesungguhnya menjadi
ancaman serius bagi masa depan generasi milenial kita.
Meminimalisasi sexting
Sekolah memiliki peran yang penting
terkait permasalahan sexting,
terutama Sekolah Menengah (SMP dan SMA). Seperti kata Driyarkara (1980:13),
kegagalan dalam pendidikan menengah berarti kerugian besar bagi masyarakat,
timbul tenggelamnya suatu bangsa, kemajuan dan kemerosotannya tergantung dari
pendidikan di masa yang penting tersebut. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi
sexting di sekolah beberapa hal berikut
perlu diperhatikan.
Pertama, membangun
komunikasi yang intensif dengan oragtua siswa. Sekolah harus menjalin
komunikasi yang intensif dengan orangtua siswa untuk mengantisipasi hal-hal
negatif yang dapat ditimbulkan dari penggunaan gadget. Pihak sekolah bisa
saja menyelipkan materi literasi teknologi informasi kepada orangtua atau wali
siswa, ketika mereka menghadiri pertemuan pada setiap awal semester. Hal ini
dilakukan agar orangtua siswa tidak tertinggal jauh dari anak terkait
penggunaan gadget, sehingga dapat
menjalankan fungsi pengawasan dengan maksimal.
Kedua, menyadarkan
siswa bahwa pornografi hanya akan menghancurkan masa depan mereka. Guru dan
orangtua siswa harus memiliki komitmen bersama untuk memberikan pemahaman yang
kuat kepada remaja bahwa pornografi hanya akan merugikan bagi masa depan mereka.
Pihak sekolah bahkan bisa menetapkan aturan yang lebih ketat terkait
penyalahgunaan fungsi gadget di
lingkungan sekolah. Namun akan lebih elok jika sebelum menetapkan aturan yang ketat,
sekolah melaksanakan tanggung jawabnya membuka wawasan siswa terkait ancaman sexting melalui kegiatan literasi
terlebih dahulu.
Ketiga, rutin
melakukan pemeriksaan konten yang ada dalam gadget
siswa, meskipun hal ini bersifat privasi dan pasti akan mendapat penolakan dari
siswa, tetapi jika hal tersebut disepakati dari awal, niscaya tidak akan
menimbulkan masalah. Apresiasi layak diberikan kepada para guru di sekolah yang
berhasil mengungkap perilaku sexting
siswa, baik antarpersonal maupun berkelompok, karena hal tersebut sangat tidak
mudah dilakukan dan butuh keberanian serta kejelian.
Sexting adalah
ancaman bagi generasi milenial kita, karena mereka adalah generasi harapan masa
depan bangsa, apalagi Indonesia pada tahun 2020-2030 akan menghadapi bonus
demografi di mana jumlah usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70%. Sumber Daya
Manusia seperti apa yang akan meramaikan bursa kerja kita pada tahun 2020-2030
tentu menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama orangtua dan guru. (WELLYSERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar