Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun
pelajaran 2015-2016 sudah berakhir sejak 6 April lalu. Berdasarkan pengalaman
mengawas UN beberapa tahun terakhir, pelaksanaan UN tahun ini dapat dikatakan lebih
bermartabat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dikatakan lebih bermartabat, karena sekolah-sekolah penyelenggara
semakin patuh terhadap Prosedur Operasional Standar Ujian Nasional (POS UN).
Kebijakan untuk patuh terhadap POS UN ini cukup beralasan, karena dari penyelenggaraan
UN tahun sebelumnya, banyak sekolah yang mendapat Indeks Integritas Ujian
Nasional (IIUN) rendah yang
mengindikasikan bahwa masih banyak sekolah yang teridentifikasi curang, meski
UN tidak lagi menentukan kelulusan peserta didik.
Perkembangan positif ini layak mendapat apresiasi dari semua
pihak, karena selama ini pelaksanaan UN selalu dipersepsikan negatif oleh
masyarakat. Bahkan, tidak sedikit yang berpendapat bahwa UN tidak lebih dari sekadar
tempat penyemaian bibit-bibit karakter tidak jujur, karena setiap kali
“hajatan” tahunan ini dilaksanakan, isu tentang kebocoran soal dan perilaku
tidak jujur selalu menghiasi pemberitaan di media massa, baik melalui media
cetak maupun daring.
Parahnya lagi dari kecenderungan yang selama ini terjadi,
tindakan tidak jujur tidak hanya dilakukan oleh siswa-siswi, para guru pun
banyak yang dengan sengaja melakukan pembiaran. Pada beberapa kasus, guru bahkan
tidak sebatas membiarkan aksi curang terjadi, tetapi juga memfasilitasi
siswa-siswi untuk mendapatkan jawaban. Harapannya, dengan memberikan bantuan siswa-siswi
akan mendapatkan nilai tinggi, yang nantinya akan berpengaruh terhadap nama
baik sekolah di mata masyarakat.
Perkembangan positif berkait teknis penyelenggaraan UN tahun
ini, agaknya sedikit memberikan angin perubahan bagi perkembangan dunia
pendidikan kita, karena dengan menyelenggarakan UN yang jujur dan berintegritas
hal-hal seperti dikemukan di atas perlahan-lahan berkurang. Walaupun fakta di lapangan
menunjukkan bahwa aksi curang tidak sepenuhnya hilang, karena masih ada saja
isu jual-beli kunci jawaban soal UN, akan tetapi untuk tahun ini frekuensi
kecurangan jauh berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Mendikbud, Anies
Baswedan melalui beberapa media melaporkan bahwa pengaduan masalah UN tingkat SMA/SMK pada
tahun ini jauh berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. Kalau pada 2015, jumlah
pengaduan yang masuk 365, pada tahun ini menururun drastis menjadi 187.
Berdasarkan pengalaman menjadi pengawas Ujian Nasional, memang
ada banyak perbedaan mencolok antara penyelenggaraan UN tahun ini dan tahun-tahun
sebelumnya. Di tingkat sub rayon, beberapa perubahan kebijakan positif diambil,
yang membuat beban moral para guru sebagai pengawas berkurang. Langkah mengubah
kebijakan ini diambil sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Pakta Integirtas
secara bersama-sama oleh seluruh kepala sekolah di tingkat kabupaten kota
beberapa minggu sebelum UN dilaksanakan.
Beberapa perubahan kebijakan yang dimaksud di antaranya: (1)
tidak ada lagi lobi-lobi yang dilakukan dalam rapat koordinasi pengawas UN di
tingkat sub rayon; (2) para pengawas sepakat memberikan tindakan tegas bagi
siswa-siswi yang melakukan kecurangan; dan (3) amplop pengembalian Lembar Jawab
Ujian Nasional (LJUN) langsung disegel dan ditanda-tangani di dalam kelas
dengan disaksikan oleh peserta UN.
Pertama, berkait
masalah tidak ada lagi lobi-lobi yang dilakukan dalam rapat koordinasi pengawas
UN di tingkat sub rayon. Pada tahun ini tidak ada lagi lobi-lobi untuk
memberikan kelonggaran bagi siswa yang melakukan kecurangan. Koordinator
pelaksana UN malah menganjurkan kepada seluruh pengawas untuk menjunjung tinggi
ketentuan-ketentuan dalam POS Ujian Nasional dan Pakta Integritas yang
ditandatagani saat menjalankan tugas. Para siswa yang tertangkap tangan
melakukan kecurangan dianjurkan untuk ditindak dengan cara memberi teguran
langsung dan mengambil barang bukti untuk diserahkan kepada koordinator pelaksana
UN di tingkat sub rayon.
Kedua, berkait
kesepakatan memberikan tindakan tegas bagi siswa-siswi yang melakukan
kecurangan. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya para guru diminta menahan diri
ketika menemukan peserta UN yang membawa kertas atau tisu yang berisikan kunci
jawaban soal UN ke dalam ruang ujian, pada tahun ini pengawas UN justru
diinstruksikan melakukan penggeledahan terhadap siswa-siswi sebelum UN dimulai.
Segala hal yang tidak terkait dengan UN seperti telepon seluler, buku-buku,
kertas, ataupun tisu yang dicurigai berisi kunci jawaban harus diamankan oleh
pengawas ruangan dan dilaporkan kepada koordinator penyelenggaraan UN.
Ketiga, berkait
teknis pengembalian amplop Lembar Jawab Ujian Nasional (LJUN) yang sebenarnya
sudah di atur dalam POS UN. Setelah UN berakhir, amplop pengembalian LJUN
langsung disegel di dalam ruang UN dengan disaksikan oleh seluruh peserta UN,
baru kemudian diserahkan ke sekretariat. Di atas segel juga dibubuhi tanda
tangan pengawas agar tidak dibuka oleh pihak-pihak yang tidak berwenang membuka
amplop LJUN tersebut.
Selain beberapa perubahan di atas, adanya penilaian berkait
Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) yang mulai diberlakukan pada UN tahun
2015 lalu juga turut membawa perubahan terhadap teknis penyelenggaraan UN tahun
ini. Dengan IIUN hasil UN yang diperoleh siswa-siswi tidak serta-merta dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan diterima di perguruan tinggi favorit,
karena nilai yang diperoleh peserta UN juga harus didukung dengan Indeks
Integritas yang baik pula. Artinya, meski secara kasat mata UN, sudah
dijalankan sesuai prosedur, namun untuk pembuktian selanjutnya apakah nilai
yang diperoleh siswa-siswi hasil merupakan hasil jujur atau tidak, harus
diperkuat dengan hasil analisis indeks integritas yang memadai.
Oleh Welly Hadi Nugroho Seran (dimuat di Koran Harian Sumatera
Ekspres, Edisi 12 April 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar