Christina Saraswati, pemenang lomba fotografi pelalajar tingkat provinsi |
Suatu
ketika, saya berkesempatan mendampingi
salah seorang siswa mengikuti lomba fotografi. Lomba tersebut diadakan untuk memperingati
hari lingkungan hidup sedunia, yang diperingai pada tanggal 5 Juni setiap tahun.
Mendaftar
sebagai peserta lomba fotografi kategori pelajar, siswa tersebut sukses meraih
juara satu. Atas prestasi tersebut siswa bersama guru pembimbing diundang untuk
menghadiri acara puncak yang dilaksanakan di luar kota. Dalam undangan
disertakan keterangan bahwa hadiah akan dibagikan pada acara puncak tersebut,
sehingga para pemenang wajib hadir.
Bersama
dengan para petinggi dan karyawan dari Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH), ditambah
dengan beberapa siswa dan guru dari sekolah lain, kami pun berangkat menggunakan
Bus Pemerintah Kota. Ini kali pertama bagi saya menjajal bus pemkot. Rasanya sama
seperti pengalaman menaiki bus-bus angkutan lainnya, setiap kali turun dari bus
selalu saja (meski tidak ingin) satu atau dua lagu dangdut terekam di kepala.
Sesampainya
di kota tujuan, kami langsung diantar menuju TPA, karena acara dipusatkan di sana.
Panitia sepertinya ingin menyampaikan pesan khusus tentang semangat cinta
lingkungan, sehingga acara puncak dilaksanakan di TPA.
Setibanya
di TPA, saya yang baru pertama kali memasuki wilayah tersebut, sedikit heran - namanya
TPA, tetapi lebih mirip taman kota, karena tempatnya hijau, bersih, dan tidak
terlihat tumpukan sampah yang menggunung seperti bayangan saya sebelumnya. Di
tempat tersebut semua tertata sempurna, kursi, taruf, konsumsi, sampai mobil toilet
disiapkan bagi tamu undangan dan semuanya bersih.
Usut
punya usut, ternyata acara tersebut hendak menghadirkan Gubernur Sumatera Selatan
sebagai tamu kehormatan. Wajar, kalau semua dipersiapkan sesempurna mungkin, meskipun pada akhirnya yang datang hanya
wakil gubernur didampingi pejabat pemkot, bupati, wali kota, anggota DPRD, dan
beberapa perwakilan pimpinan perusahaan yang mendapat undangan untuk menerima
penghargaan.
Dari
keseluruhan rangkaian acara, bagian paling menarik bagi saya adalah ketika
pihak panitia memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh pemerhati lingkungan
dan perusahaan-perusahaan yang dipandang peduli dan ramah terhadap lingkungan.
Saya katakan menarik, bukan karena besarnya hadiah yang diberikan kepada para tokoh dan perusahaan penerima penghargaan, juga bukan karena besarnya sumbangsih yang diberikan para tokoh dan perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan, tetapi lebih karena sikap tidak konsisten yang ditunjukkan oleh panitia dalam memberikan penghargaan.
Saya katakan menarik, bukan karena besarnya hadiah yang diberikan kepada para tokoh dan perusahaan penerima penghargaan, juga bukan karena besarnya sumbangsih yang diberikan para tokoh dan perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan, tetapi lebih karena sikap tidak konsisten yang ditunjukkan oleh panitia dalam memberikan penghargaan.
Pemberian
penghargaan yang diharapkan dapat memacu semangat para aktivis pecinta lingkungan
dan perusahaan-perusahan dalam menjaga kelestarian lingkungan tersebut terkesan
asal tanpa melalui proses pencermatan dan penggunaan instrumen yang tepat. Entah
karena ada titipan, atau memang karena faktor human error, yang pasti kesan salah alamat dalam memberikan
penghargaan sulit ditepiskan.
Dalam
pemberian penghargaan kategori tokoh pemerhati lingkungan, BLH mendaulat salah
satu nama sebagai pemenang. Tokoh tersebut didaulat sebagai pemenang, karena dinilai
aktif menyosialisasikan gerakan anti kegiatan penambangan batu bara. Beliau
dipandang berani menampilkan diri sebagai pelopor dalam menolak kehadiran
perusahaan tambang batu bara yang kelak dikhawatirkan akan membawa dampak kurang
baik terhadap lingkungan dan ekosistem di sekitarnya.
Tamu
udangan dan para pelajar yang hadir memberikan standing applause kepada tokoh penerima penghargaan tersebut. Senyum
bangga terpancar di wajah para tamu undangan dan pelajar menyaksikan sang
pelopor naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan. Maklum, di era ini semakin
sulit kita menemukan tokoh-tokoh seperti beliau, yang mau berjuang demi
kepentingan orang banyak.
Namun,
sesaat kemudian rasa bangga seketika berubah menjadi tanda tanya, karena pada
saat bersamaan, BLH juga memasukkan nama salah satu perusahaan batu bara
terbesar di Provinsi Sumatera Selatan sebagai pemenang penghargaan untuk
kategori perusahaan ramah lingkungan. Tidak hanya perusahaan batu bara,
perusahaan sawit dan karet pun turut mendapat penghargaan untuk kategori yang
sama.
Hal
tersebut menyita perhatian salah satu pejabat pemerintah yang hadir pada acara
tersebut. Pada saat menyampaikan sambutan, beliau menyentil instrumen penilaian
yang digunakan oleh BLH dalam menentukan pemenang. “Saya berharap, ke depan
penghargaan semacam ini diberikan atas dasar yang jelas, menggunakan instrumen
yang jelas sehingga hasilnya dapat memberikan perubahan” kata sang pejabat
kesal.
Wajar
sang pejabat murka, karena kondisi alam sekitar kita semakin hari memang semakin tidak
bersahabat. Iklim yang tidak menentu, secara langsung berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup umat manusia. Hasil studi terbaru WHO bahkan mengatakan
bahwa kenaikan suhu udara di dunia berpengaruh buruk terhadap kesehatan manusia
dan dapat menghapus kemajuan kesehatan yang sudah dicapai selama 50 tahun
terakhir.
Hal
tersebut kemudian mengingatkan saya pada sebuah ensiklik yang dikeluarkan oleh
Paus Fransiscus berjudul “Laudato Si” yang pernah dimuat di Koran Kompas. Ensiklik
merupakan surat tertinggi yang dikeluarkan oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi gereja
katolik dunia.
Dalam
ensiklik tersebut, Paus berpesan kepada masyarakat dunia agar menyikapi dengan
serius permasalahan menyangkut hubungan antara manusia dengan lingkungan. Paus
menegaskan bahwa permasalahan utama yang berkait dengan lingkungan adalah
perubahan iklim.
Seluruh
dunia mulai merasakan perubahan iklim yang ekstrem; banjir di satu tempat dan
kekeringan di tempat lain; musim dingin yang mencekam di satu tempat dan udara
panas luar biasa di tempat lain merupakan pertanda serius bahwa manusia harus
segera memperbaiki hubungannya dengan lingkungan.
Terhadap
pertanda tersebut, kita harus mengambil sikap. Semua pihak harus secara
terus menerus dan konsisten menggalakkan aksi peduli lingkungan.
Lembaga-lembaga pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan harus bisa
menampilkan diri sebagai pelopor sekaligus teladan bagi para generasi muda
untuk semakin mecintai lingkungan, bukan malah sebaliknya.
Kembali
pada kisah di awal tulisan ini, saya sedikit terkejut, ketika ada salah satu
siswa SMA yang secara spontan berkomentar, “Kok bisa?” pada saat penghargaan
diberikan. Siswa tersebut sepertinya menyadari bahwa ada sesuatu yang salah
ketika BLH memberi penghargaan peduli lingkungan kepada perusahaan tambang, sementara sebelumnya penghargaan juga diberikan kepada aktivis anti kegiatan penambangan.
Hal
ini menunjukkan bahwa siswa kita semakin
cerdas dan kritis, mereka bisa menilai mana yang pantas dan tidak pantas
ditiru. Aksi-aksi yang melibatkan siswa harus dipertimbangkan matang-matang.
Nilai-nilai positif harus diselipkan dalam setiap kegiatan yang melibatkan
siswa. Jangan sampai setelah mengikuti acara-acara seperti ini - yang
sebenarnya bertujuan baik, justru menimbulkan dampak kurang baik dan membekas
di benak para siswa. (WELLY SERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar