Sumber gambar: www.ngopy.com |
Semua guru tentu tidak
mengingingkan siswa yang mereka didik masuk dalam “dokrin kebenaran ilusi”
yang berarti siswa merasa memahami apa yang pernah dipelajari
karena mendapat nilai tinggi, padahal nilai tinggi yang dieroleh hanya merupakan
hasil rekayasa.
Suatu
ketika pada saat pelaksanaan Ulangan Akhir Semester ada pengalaman menarik yang
masih saya ingat sampai sekarang. Ketika itu saya masih tergolong guru baru
dengan jam mengajar yang masih minim. Seperti pada umumnya guru baru saya
memiliki idealisme yang tinggi terhadap profesi guru yang baru saya geluti.
Dalam menilai pekerjaan siswa saya selalu mengacu pada prinsip-prinsip penilaian
sesuai dengan pedoman kurikulum, terutama berkaitan dengan transparansi.
Setelah selesai mengoreksi pekerjaan siswa, hal yang rutin saya lakukan adalah mengembalikan
lembar kerja siswa. Harapannya, para siswa merasa senang dan mengetahui sejauh
mana perkembangan mereka selama mengikuti pelajaran.
Hal
serupa juga saya lakukan ketika Ulangan Akhir Semester dilaksanakan. Setelah
soal mata pelajaran yang saya ampu selesai diujikan, lembar kerja siswa langsung
saya koreksi dan hasilnya saya kembalikan kepada siswa. Umumnya respon siswa
positif, mereka terlihat senang ketika hasil pekerjaan mereka dikembalikan,
meskipun mungkin hasil yang mereka dapat terkadang di luar harapan.
Cara
kerja saya ternyata menarik perhatian dari salah seorang rekan guru. Suatu
hari, sambil berlalu di depan meja kerja saya beliau berkata, “Nilai UAS kok
dibagi?”. Sejenak saya terdiam mendengar komentar guru tersebut. Saya pikir,
bukankah seharusnya memang demikian hasil pekerjaan siswa harus sesegera
mungkin dikembalikan, karena siswa berhak mengetahui hasil kerja mereka?
Terdorong oleh rasa penasaran, saya pun berupaya mengorek informasi dari rekan-rekan sesama guru yang saya pandang memiliki jam terbang lebih tinggi dan paham terhadap sistem penilaian di sekolah tempat saya mengajar. Salah seorang guru memberikan penjelasan bahwa mungkin yang dimaksud adalah seharusnya nilai asli siswa tidak perlu dibagi dan siswa tidak harus tahu berapa nilai asli yang mereka peroleh saat Ulangan Akhir Semester.
Terdorong oleh rasa penasaran, saya pun berupaya mengorek informasi dari rekan-rekan sesama guru yang saya pandang memiliki jam terbang lebih tinggi dan paham terhadap sistem penilaian di sekolah tempat saya mengajar. Salah seorang guru memberikan penjelasan bahwa mungkin yang dimaksud adalah seharusnya nilai asli siswa tidak perlu dibagi dan siswa tidak harus tahu berapa nilai asli yang mereka peroleh saat Ulangan Akhir Semester.
Siswa
hanya diberikan nilai akhir yang merupakan hasil hitungan rata-rata dari nilai
ulangan bulanan, ulangan harian, ulangan tanpa pemberitahuan, ulangan tengah
semester, nilai tugas, dan Ulangan Akhir Semester. Sementara nilai asli siswa
tidak perlu dibagikan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan protes dari siswa
apabila ada nilai yang bertambah atau berkurang setelah di rata-rata.
Pentingnya Transparansi
Bagi
siswa nilai bukan sekadar angka-angka yang akan menentukan peringkat di akhir
semester. Dalam dunia pendidikan kita akrab dengan istilah reward dan punishment. Reward artinya penghargaan dan punishment artinya hukuman atau sanksi
terhadap pelanggaran. Nilai merupakan salah satu bentuk reward terhadap usaha dan jerih payah siswa selama mengikuti proses
belajar mengajar di kelas.
Pemberian
reward kepada siswa hendaknya
dilakukan secara objektif dan transparan. Objektif dalam arti penilaian
diberikan berdasarkan tingkat perkembangan siswa selama mengikuti proses
pembelajaran dengan instrumen penilaian yang sesuai. Transparan artinya keterbukaan
antara guru dan siswa. Wujud nyata dari prinsip transparansi dalam penilaian
adalah membagikan semua hasil tes kepada siswa, karena hal tersebut merupakan
hak dasar bagi siswa.
Dengan
mengembalikan tugas siswa disertai nilai, maka objektivitas penilaian dapat
dipertanggungjawabkan oleh guru yang mengampu mata pelajaran. Jangan sampai
nilai akhir yang diberikan guru kepada siswa hanya berdasarkan cantik-tidak
cantik, tampan-tidak tampan, kaya-tidak kaya, sopan-tidak sopan, usil -tidak
usil, dia anak siapa, dan lain sebagainya.
Kita tentunya tidak mengingingkan para siswa yang kita didik masuk dalam “dokrin kebenaran ilusi” yang artinya para siswa merasa bisa dan paham akan apa yang pernah dipelajari atau dipraktikkan karena mendapat nilai tinggi, padahal pada kenyataannya mereka belum mendapatkan apa-apa, karena nilai tinggi yang mereka peroleh merupakan hasil rekayasa.
Suatu
hari, ketika saya berselancar di media sosial, saya membaca status seorang siswa yang mengatakan, “Sedang
menghitung rata-rata nilai, semoga cocok dengan nilai rata-rata perhitungan
guru”. Seorang siswa dapat berkata demikian karena ada transparansi antara guru
dan siswa. Guru terbuka kepada siswa terkait penilaian sehingga siswa dapat
mengetahui atau bahkan mengkritisi angka yang tertulis di laporan hasil belajar
pada akhir semester.
Bayangkan
jika tidak ada transparansi antara guru dan siswa terkait penilaian, nilai
siswa yang tertulis di raport tentunya tidak lebih dari sekadar permainan angka
cantik. Bagi siswa yang beruntung mendapat nilai tinggi akan terbuai dengan
ilusi “Anda sudah bisa!” padahal sesungguhnya tidak demikian. Sebaliknya para
siswa yang mendapat nilai rendah akan semakin terpuruk dengan ilusi “Anda
payah!” padahal juga belum tentu demikian.
Pada
setiap ulangan kenaikan kelas para siswa yang sering berulah dan namanya sering
muncul dalam buku catatan pelanggaran biasanya akan berkamuflase. Tingkah laku
ataupun tindak tanduk mereka berubah seratus delapan puluh derajat ketika
ulangan kenaikan kelas akan dilaksanakan. Siswa yang biasanya tidak pernah
menyapa guru ketika di sekolah ataupun di luar sekolah menjadi murah senyum dan
rutin menyalami para guru. Siswa yang baiasanya sering datang terlambat akan datang
lebih pagi dari siswa lainnya. Siswa yang sering bernampilan tidak rapi menjadi
lebih disiplin memasukkan baju dan menata rambut. Apa yang diharapkan siswa dari
perubahan instan tersebut? Tentu saja nilai belas kasihan dari para guru. Para
guru yang terbiasa menilai siswa dengan angka-angka cantik biasanya terpengaruh
oleh gelagat siswa yang demikian. Akan tetapi, bagi guru yang disiplin dalam
penilaian atau memantau perkembangan siswa hal tersebut tidak akan mengubah
apapun.
Dalam
beberapa kesempatan, ketika alumni yang dulunya dipandang sebelah mata justru
sukses meraih gelar pendidikan tinggi dan meraih suskses, sering saya
mendengarkan komentar dari beberapa rekan guru. “Padahal dulu waktu sekolah dia
termasuk anak yang kurang menonjol!”
atau “Dulu dia bukanlah anak yang cerdas, sekarang malah jadi orang hebat!”. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita sebagai
guru betul-betul memahami potensi yang dimiliki oleh siswa kita? Sudah kita
memberikan penilaian yang objektif terhadap kemampuan siswa, atau selama ini
kita hanya bisa menghakimi tanpa bisa memberi argumentasi dan bukti?” (WELLYSERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar