sumber gambar: www.suriyadi.blogspot.com |
Sekolah
swasta harus berlapang dada ketika secara tidak langsung dijadikan sekolah
cadangan oleh calon peserta didik baru. Tidak heran, setiap kali tahun ajaran
baru dimulai, kabar tentang adanya sekolah swasta yang terpaksa gulung tikar
kerap menghiasi pemberitaan di media massa, karena jumlah murid yang mendaftar tidak
sebanding dengan jumlah guru yang mengajar.
Ketika
guru mempersoalkan masalah ini dan mempertanyakan nasib mereka kepada
pihak-pihak terkait, jawaban yang diterima selalu sama, “Sekolah-sekolah swasta
harus berbenah”. Jawaban yang sebenarnya sudah diketahui sebelum pertanyaan tersebut
disampaikan. Lantas, sudah tepatkah jawaban tersebut?
Sebagai
guru yang mengajar di sekolah swasta, saya sebenarnya tidak
keberatan dengan jawaban tersebut. Kenyataannya, sekolah swasta memang harus selalu
setingkat lebih baik dari sekolah-sekolah negeri, jika ingin tetap berada dalam
jalur persaingan. Apabila kualitasnya sama atau bahkan di bawah, maka bukan
salah orangtua siswa kalau mereka lebih memilih menyekolahkan putra-putri
mereka di sekolah negeri.
Andaikan
saya di posisi orangtua siswa, saya pun akan melakukan hal yang sama. Dasar
pemikirannya sangat sederhana, untuk apa mendaftar di sekolah swasta dengan
biaya pendidikan yang relatif lebih mahal, kalau di sekolah negeri kita bisa
membayar lebih murah dengan kualitas yang tidak jauh berbeda atau justru lebih
baik.
Kita
kesampingkan dulu masalah program sekolah gratis, penambahan jumlah kelas untuk
memenuhi jam wajib mengajar guru bersertifikat, dan pengamanan dana bos, yang
diduga menjadi faktor penyebab menurunnya animo masyarakat
mendaftarkan putra-putri mereka ke sekolah-sekolah swasta. Instruksi untuk
terus melakukan pembenahan dan menawarkan terobosan baru perlu menjadi bahan
evaluasi bagi sekolah manapun yang mulai kesulitan mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Lagi
pula, Kemendikbud sudah berusaha membantu dengan mengeluarkan Permendikbud No.
17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru yang salah satu pasalnya mengatur
tentang penerapan sistem zonasi. Dalam sistem zonasi ini, sekolah-sekolah negeri
wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat
dari sekolah, paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik
yang diterima. Dari ketentuan ini diharapkan penyebaran calon peserta didik lebih
merata dan tidak hanya terfokus pada sekolah-sekolah tertentu saja, khususnya
sekolah-sekolah unggul yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Terkait
hal tersebut, kebijakan yang profesional sekaligus proporsional dari pemerintah
daerah sangat diharapkan ketika menentukan radius zona. Data calon peserta
didik baru dengan daya tampung yang disiapkan harus diperhitungkan agar siswa
tersebar secara merata. Sebagai contoh di tingkat SMA setiap sekolah boleh
membuka maksimal 12 kelas. Untuk sekolah-sekolah di kota besar ketentuan ini mungkin
tidak menjadi masalah, karena jumlah siswa lulusan SMP mencukupi, namun di
tingkat kabupaten kota hal ini menjadi masalah, karena jumlah siswa lulusan SMP
tidak sebanding dengan jumlah kelas yang tersedia. Oleh karena itu, membatasi
jumlah kelas sesuai kondisi masing-masing daerah merupakan solusi terbaik untuk
membantu sekolah-sekolah swasta tetap eksis.
Kembali
pada masalah kualitas sekolah swasta yang harus selalu setingkat lebih baik di
atas sekolah negeri. Kita mungkin bisa belajar dari kisah Sekolah Tomoe Gakuen dalam
buku autobiografi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi. Tomoe Gakuen merupakan
sekolah yang dirintis oleh seorang tokoh bernama Sosaku Kobayashi. Tomoe Gakuen
bukan sekolah elit dengan fasilitas super lengkap. Tomoe Gakuen hanyalah sebuah
sekolah yang menggunakan gerbong-gerbong kereta api sebagai tempat belajar. Namun
dekimian, di tengah keterbatasan, sekolah tersebut mampu menampilkan sesuatu
yang berbeda yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah konvensional Jepang saat
itu.
Pada
masa itu, sekolah-sekolah di Jepang masih sangat bergantung pada buku teks.
Para murid diarahkan untuk duduk diam, mempelajari materi ajar yang tertuang
dalam buku sampai paham. Siswa yang tidak bisa mengikuti, apalagi mendapat
label nakal, harus siap-siap dikeluarkan dari sekolah. Salah satu siswa yang
menjadi korban cara tradisional ini adalah Tetsuko Kuroyanagi yang dikeluarkan
dari sekolah karena dianggap sulit diatur dan sering berperilaku aneh sehingga
mengganggu proses pembelajaran di kelas.
Melihat
situasi tersebut Kobayashi menghadirkan konsep yang berbeda, yaitu berusaha membuat
siswa merasa senang saat belajar dan membuat mereka merasa dihargai martabatnya
sebagai manusia dengan memberikan perhatian ekstra pada keunikan pribadi
masing-masing siswa. Kobayashi menciptakan kurikulumnya sendiri yang kemudian diterapkan
di sekolahnya.
Dengan
ketekunan dan kemauan yang kuat untuk mendidik, Sekolah Tomoe Gakuen mampu
menarik minat para siswa. Mereka yang sempat ditolak atau yang dikeluarkan dari
sekolah-sekolah konvensional sebelumnya, justru diterima dan diperlakukan dengan
baik di Tomoe Gakuen. Di Tomoe Gakuen, mereka ditata menjadi manusia yang cerdas
sesuai bakat dan kemampuan masing-masing siswa.
Apa
yang bisa kita pelajari dari kisah Sekolah Tomoe Gakuen adalah bahwa dalam
setiap tantangan dan keterbatasan selalu ada peluang yang bisa dimenangkan. Dalam
hal ini, peluang tersebut adalah bagaimana menghadirkan nilai tambah. Nilai
tambah tersebut sebaiknya merupakan sesuatu yang belum dimiliki oleh
sekolah-sekolah lain sehingga bisa menjadi pembeda. Ketika kita mampu
menghadirkan sesuatu yang berbeda orangtua siswa tentu memiliki alasan yang
kuat untuk menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah kita.
Ketika
saya menyaksikan beberapa universitas swasta melakukan promosi ke sekolah
tempat saya mengajar, saya melihat tim promosi sangat fasih ketika berbicara
tentang visi dan misi, fasilitas, dan tawaran-tawaran menarik lain yang ada di
kampus mereka, tetapi ketika ada siswa yang bertanya, apa kelebihan mereka
dibandingkan perguruan tinggi negeri (PTN), tim promosi terlihat kesulitan memberikan
jawaban yang meyakinkan. Apakah hal tersebut bisa menjadi representasi dari
kondisi yang dialami sekolah-sekolah swasta saat ini? Jawabannya ada pada
pribadi masing-masing guru. (WELLYSERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar