GURU GALAU

sumber gambar: www.suriyadi.blogspot.com
Sejak 2012, menjelang tahun ajaran baru dimulai kegalauan selalu menghinggapi suasana hati para guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta. Kegalauan muncul bukan karena gaji yang kurang memadai atau tuntutan kurikulum yang semakin rumit, tetapi karena semakin berkurangnya animo masyarakat mendaftarkan putra-putri mereka ke sekolah-sekolah swasta. Mendaftar ke sekolah swasta cenderung menjadi pilihan terakhir, setelah calon peserta didik baru gagal memenangkan persaingan masuk ke sekolah negeri.


Sekolah swasta harus berlapang dada ketika secara tidak langsung dijadikan sekolah cadangan oleh calon peserta didik baru. Tidak heran, setiap kali tahun ajaran baru dimulai, kabar tentang adanya sekolah swasta yang terpaksa gulung tikar kerap menghiasi pemberitaan di media massa, karena jumlah murid yang mendaftar tidak sebanding dengan jumlah guru yang mengajar.

Ketika guru mempersoalkan masalah ini dan mempertanyakan nasib mereka kepada pihak-pihak terkait, jawaban yang diterima selalu sama, “Sekolah-sekolah swasta harus berbenah”. Jawaban yang sebenarnya sudah diketahui sebelum pertanyaan tersebut disampaikan. Lantas, sudah tepatkah jawaban tersebut?

Sebagai guru yang mengajar di sekolah swasta, saya sebenarnya tidak keberatan dengan jawaban tersebut. Kenyataannya, sekolah swasta memang harus selalu setingkat lebih baik dari sekolah-sekolah negeri, jika ingin tetap berada dalam jalur persaingan. Apabila kualitasnya sama atau bahkan di bawah, maka bukan salah orangtua siswa kalau mereka lebih memilih menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah negeri.

Andaikan saya di posisi orangtua siswa, saya pun akan melakukan hal yang sama. Dasar pemikirannya sangat sederhana, untuk apa mendaftar di sekolah swasta dengan biaya pendidikan yang relatif lebih mahal, kalau di sekolah negeri kita bisa membayar lebih murah dengan kualitas yang tidak jauh berbeda atau justru lebih baik.

Kita kesampingkan dulu masalah program sekolah gratis, penambahan jumlah kelas untuk memenuhi jam wajib mengajar guru bersertifikat, dan pengamanan dana bos, yang diduga menjadi faktor penyebab menurunnya animo masyarakat mendaftarkan putra-putri mereka ke sekolah-sekolah swasta. Instruksi untuk terus melakukan pembenahan dan menawarkan terobosan baru perlu menjadi bahan evaluasi bagi sekolah manapun yang mulai kesulitan mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Lagi pula, Kemendikbud sudah berusaha membantu dengan mengeluarkan Permendikbud No. 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru yang salah satu pasalnya mengatur tentang penerapan sistem zonasi. Dalam sistem zonasi ini, sekolah-sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah, paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Dari ketentuan ini diharapkan penyebaran calon peserta didik lebih merata dan tidak hanya terfokus pada sekolah-sekolah tertentu saja, khususnya sekolah-sekolah unggul yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Terkait hal tersebut, kebijakan yang profesional sekaligus proporsional dari pemerintah daerah sangat diharapkan ketika menentukan radius zona. Data calon peserta didik baru dengan daya tampung yang disiapkan harus diperhitungkan agar siswa tersebar secara merata. Sebagai contoh di tingkat SMA setiap sekolah boleh membuka maksimal 12 kelas. Untuk sekolah-sekolah di kota besar ketentuan ini mungkin tidak menjadi masalah, karena jumlah siswa lulusan SMP mencukupi, namun di tingkat kabupaten kota hal ini menjadi masalah, karena jumlah siswa lulusan SMP tidak sebanding dengan jumlah kelas yang tersedia. Oleh karena itu, membatasi jumlah kelas sesuai kondisi masing-masing daerah merupakan solusi terbaik untuk membantu sekolah-sekolah swasta tetap eksis.

Kembali pada masalah kualitas sekolah swasta yang harus selalu setingkat lebih baik di atas sekolah negeri. Kita mungkin bisa belajar dari kisah Sekolah Tomoe Gakuen dalam buku autobiografi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi. Tomoe Gakuen merupakan sekolah yang dirintis oleh seorang tokoh bernama Sosaku Kobayashi. Tomoe Gakuen bukan sekolah elit dengan fasilitas super lengkap. Tomoe Gakuen hanyalah sebuah sekolah yang menggunakan gerbong-gerbong kereta api sebagai tempat belajar. Namun dekimian, di tengah keterbatasan, sekolah tersebut mampu menampilkan sesuatu yang berbeda yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah konvensional Jepang saat itu.

Pada masa itu, sekolah-sekolah di Jepang masih sangat bergantung pada buku teks. Para murid diarahkan untuk duduk diam, mempelajari materi ajar yang tertuang dalam buku sampai paham. Siswa yang tidak bisa mengikuti, apalagi mendapat label nakal, harus siap-siap dikeluarkan dari sekolah. Salah satu siswa yang menjadi korban cara tradisional ini adalah Tetsuko Kuroyanagi yang dikeluarkan dari sekolah karena dianggap sulit diatur dan sering berperilaku aneh sehingga mengganggu proses pembelajaran di kelas.

Melihat situasi tersebut Kobayashi menghadirkan konsep yang berbeda, yaitu berusaha membuat siswa merasa senang saat belajar dan membuat mereka merasa dihargai martabatnya sebagai manusia dengan memberikan perhatian ekstra pada keunikan pribadi masing-masing siswa. Kobayashi menciptakan kurikulumnya sendiri yang kemudian diterapkan di sekolahnya.

Dengan ketekunan dan kemauan yang kuat untuk mendidik, Sekolah Tomoe Gakuen mampu menarik minat para siswa. Mereka yang sempat ditolak atau yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah konvensional sebelumnya, justru diterima dan diperlakukan dengan baik di Tomoe Gakuen. Di Tomoe Gakuen, mereka ditata menjadi manusia yang cerdas sesuai bakat dan kemampuan masing-masing siswa.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Sekolah Tomoe Gakuen adalah bahwa dalam setiap tantangan dan keterbatasan selalu ada peluang yang bisa dimenangkan. Dalam hal ini, peluang tersebut adalah bagaimana menghadirkan nilai tambah. Nilai tambah tersebut sebaiknya merupakan sesuatu yang belum dimiliki oleh sekolah-sekolah lain sehingga bisa menjadi pembeda. Ketika kita mampu menghadirkan sesuatu yang berbeda orangtua siswa tentu memiliki alasan yang kuat untuk menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah kita.

Ketika saya menyaksikan beberapa universitas swasta melakukan promosi ke sekolah tempat saya mengajar, saya melihat tim promosi sangat fasih ketika berbicara tentang visi dan misi, fasilitas, dan tawaran-tawaran menarik lain yang ada di kampus mereka, tetapi ketika ada siswa yang bertanya, apa kelebihan mereka dibandingkan perguruan tinggi negeri (PTN), tim promosi terlihat kesulitan memberikan jawaban yang meyakinkan. Apakah hal tersebut bisa menjadi representasi dari kondisi yang dialami sekolah-sekolah swasta saat ini? Jawabannya ada pada pribadi masing-masing guru. (WELLYSERAN)

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.