GURU BAHAGIA, MURID BAHAGIA

sumber gambar: www.steemit.com
Menyampaikan materi dengan jelas saja tidak cukup untuk bisa membuat siswa merasa bahagia berada di kelas. Rasa bahagia akan muncul ketika siswa merasa diperhatikan, dirangkul, dibimbing, dan dihargai. Perasaan bahagia pun tidak bisa dipaksakan, yang bisa dilakukan hanyalah menularkannya.



Suatu ketika pada jam istirahat pertama, seorang siswa masuk ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas. Guru yang dicari sedang menikmati secangkir teh panas sambil mempersiapkan materi pembelajaran yang akan disampaikan pada kelas berikutnya.  Sebut saja nama siswa tersebut Oka. Di sekolah Oka dikenal sebagai siswa yang labil, terkadang begitu ramah tetapi terkadang juga bisa menjengkelkan, karena perangai yang kurang bersahabat ketika suasana hatinya sedang tidak baik.

Entah karena suasana hatinya sedang tidak baik atau memang karena kebiasaan di rumah, saat itu setelah membuka pintu ruang guru, Oka masuk begitu saja tanpa mengucapkan salam. Ia seolah tidak melihat ada orang lain di ruangan tersebut, selain guru yang ia cari. Oka berjalan dengan pandangan lurus ke depan tanpa melihat kiri-kanan sambil memegang secarik kertas berisi tugas yang akan ia serahkan.

Sikap Oka yang tidak lazim, menarik perhatian salah seorang guru yang kemudian menegurnya, “Kamu ini masuk ruang guru tidak permisi, muka cemberut, senyum sedikit kenapa?” tegur sang guru. Oka balas menjawab, “Bapak aja kalau di kelas gak pernah senyum,” katanya memalingkan wajah sambil berjalan meninggalkan ruang guru.

Mendengar jawaban yang kurang mengenakkan tersebut, semua guru yang saat itu sedang beristirahat terdiam. Mereka mengira akan terjadi perdebatan antara Oka dan sang guru. Namun, yang terjadi di luar dugaan, sang guru justru ikut terdiam dan membiarkan Oka pergi begitu saja. Sang guru sepertinya tidak ingin berurusan lebih lama dengan siswa bernama Oka.

Setelah menyaksikan peristiwa tersebut, batin saya terusik. Bukan oleh sikap Oka yang kurang pantas, melainkan kalimat yang keluar dari mulut Oka yang  mengindikasikan bahwa ia merasa kurang nyaman ketika guru mengajar di kelas. “Kalau Anda saja tidak pernah tersenyum kepada saya, maka saya pun tidak akan melakukan hal yang sama,” begitu kira-kira makna dari kalimat yang diucapkan Oka.

Sikap diam guru setelah mendengar bantahan benada kritik dari Oka seolah membenarkan dugaan tersebut. Oka sepertinya kurang merasa disapa dan diperhatikan ketika guru menyampaikan pembelajaran di kelas. Guru hanya bisa berkata “Ayo tersenyum!” sementara guru sendiri pelit senyum. Guru hanya bisa mengatakan kita harus bersikap sopan kepada orang lain, sementara guru sering bersikap sebaliknya terhadap siswa.

Secara tidak langsung Oka telah menggugah saya sebagai guru untuk lebih peka terhadap suasana batin siswa. Guru tidak boleh memaksakan gaya mengajar yang menurutnya benar dan justru sebaliknya harus menyesuaikan dengan gaya belajar siswa. Guru tidak hanya bisa memberi perintah siswa harus begini dan begitu, tetapi juga harus memberi teladan melalui tutur kata dan sikap di hadapan siswa.

Dulu, pada tahun pertama mengajar, setiap kali menjelang ulangan akhir semester, saya sering melakukan evaluasi bersama para siswa tentang gaya mengajar dan suasana belajar yang mereka inginkan. Dasil hasil evaluasi, rata-rata siswa menuliskan hal-hal positif terkait cara saya menyampaikan materi, metode pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Namun, pada pertanyaan tentang apakah siswa merasa senang saat mengikuti proses pembelajaran? Jawaban yang dominan muncul adalah “biasa-biasa saja”. Jawaban yang tentunya mengecewakan, namun penting untuk bisa mengubah persepsi saya tentang gaya mengajar dan minat belajar siswa.

Jawaban jujur para siswa tersebut memberikan signal bahwa menyampaikan materi dengan jelas saja belum cukup untuk bisa membuat para siswa merasa senang berada di kelas. Rasa bahagia akan muncul ketika siswa merasa diperhatikan, dirangkul, dibimbing, dan dihargai. Perasaan bahagia tidak bisa dipasaksakan, yang biasa dilakukan adalah menularkannya. Seperti kata Sumardianta, pendidik dan penulis buku Guru Gokil Murid Unyu (2013), bahwa untuk bisa membuat siswa merasa bahagia di kelas guru harus bisa berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan sesama, dan menularkan kebahagiaan itu.

Pertama, berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri dapat dilakukan dengan cara mensyukuri talenta yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Seorang guru yang baik harus memberi contoh kepada para siswa bagaimana memanfaatkan talenta diri untuk kepentingan bersama. Seperti kata Steve Weber melalui Juanda (2006), “Talenta yang dilipatgandakan adalah talenta yang dipergunakan”.

Dalam hal ini saya terkesan dengan guru-guru di salah satu sekolah swasta di Yogyakarta, yang dengan talenta yang mereka miliki mampu menginspirasi para siswa untuk berprestasi. Misalnya saja dalam hal keterampilan menulis, banyak murid yang terinspirasi dari para guru hingga akhirnya bisa menjadi penulis hebat. Selain itu, berdamai dengan diri sendiri juga dapat dilakukan dengan cara mensyukuri karya Tuhan yang dipercayakan kepada kita melalui profesi guru. Seorang guru haruslah bangga dengan profesinya, karena di tangan para gurulah kualitas generasi muda dipertaruhkan. Jangan pernah berpikir bahwa profesi guru dapat dijadikan sebagai perkerjaan sampingan.

Kedua, berdamai dengan sesama. Berdamai dengan sesama berarti berdamai dengan atasan dan sesama rekan kerja. Masalah dalam hidup berlembaga merupakan hal yang lumrah. Permasalahan kecil seperti sikap atasan yang tidak tegas, perbedaan perlakuan antara guru, nepotisme, persaingan tidak sehat, saling menjatuhkan, dan sikap-sikap tidak terpuji, harus kita kesampingkan ketika kita mulai melangkah menuju ruang kelas. Dokrin positif seorang guru adalah kepentingan siswa di atas segalanya. Artinya, masalah apapun yang terjadi terkait hubungan kita dengan atasan dan sesama rekan kerja, kepentingan siswa tetap nomor satu. Kita tidak berhak melampiaskan kemarahan atau pun kekesalan terhadap atasan atau rekan kerja kepada para siswa.

Ketiga, menularkan kebahagiaan. Kesulitan terbesar yang saya rasakan selama menjalani profesi guru adalah menularkan kebahagiaan kepada para siswa. Menjadi guru mudah ketika tujuan utama hanya mengajar, tetapi tidak mudah ketika guru dituntut harus bisa membuat siswa merasa bahagia berlama-lama di dalam kelas. Selama ini yang jamak terjadi adalah para siswa kurang bergairah ketika mendengar bel tanda kegiatan belajar dimulai, tetapi melompat kegirangan ketika mendengar bel istirahat dan bel pulang sekolah.

Walau sulit, cara terbaik membuat siswa merasa bahagia berada di kelas adalah dengan mentransfer energi positif. Saya teringat ketika suatu saat mengikuti program pelatihan pramuka “Kursus Mahir Lanjutan” yang diselenggarakan oleh lembaga bagi para guru yang akan menjadi pembina Pramuka. Pada saat itu, ketika mata sudah mulai mengantuk, badan mulai lelah, dan otak mulai kekurangan daya serap karena dijejali sekian banyak materi dari pagi sampai malam, hadir seorang narasumber yang betul-betul membuat peserta merasa hidup kembali.

Yang beliau lakukan adalah hal sederhana yang sudah banyak diketahui oleh para guru, yaitu menampilkan diri sebagai sosok yang enerjik dan penuh kegembiraan. Beliau menyampaikan materi dengan ringan dan penuh canda-tawa. Cara tersebut terbukti mampu membangkitkan rasa bahagia pada diri para peserta pelatihan, sehingga waktu rasanya berjalan begitu cepat. Rasa kantuk dan lelah seketika hilang begitu saja. Herannya, ketika masuk pada sesi berikutnya dengan narasumber dan metode yang berbeda, rasa kantuk dan lelah muncul kembali seperti sebelumnya. (WELLYSERAN)

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.