sumber gambar: www.informasitips.com |
Seperti diceritakan dalam buku biografi karangan Sitisoemandari
Soeroto (1982), Kartini lahir pada 21 April 1879 dan wafat pada 17 September
1904 atau 114 tahun yang lalu. Kartini merupakan anak ke-5 dari Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Bupati Sosroningrat dalam
kepemimpinan dan kehidupan keluarganya mewarisi sifat-sifat dari sang ayah,
Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak dan selalu ingat akan pesan beliau
bahwa “Tanpa pengetahuan kalian kelak tidak akan merasa bahagia dan dinasti
kita akan makin mundur”. Oleh karena
itu, Bupati Sosroningrat menyekolahkan Kartini dan saudara-saudaranya di Europese
Lagere School (Sekolah Rendah Belanda).
Tidak cukup hanya mengikuti pelajaran di sekolah, Kartini
bersama dua adiknya, Roekmini dan Kardinah juga masih harus mengikuti pelajaran
tambahan menyulam, membaca Alquran, dan Bahasa Jawa di rumah. Karena sudah
lelah dengan pelajaran dan tugas sekolah, tiga saudara ini sering menghindari
pelajaran tambahan dengan membuat ulah. Guru-guru yang memberikan pelajaran
tambahan terkadang dibuat pusing. Hanya guru Bahasa Jawa, Bapak Sumarisman yang
dapat menundukkan mereka.
Beliau sangat tegas dan disiplin, meski mengajar anak bupati,
Bapak Sumarisman tidak segan memarahi bahkan sampai menjewer ketika tiga
saudara tidak disiplin dan malas mengikuti pelajaran. Hal yang menarik jika
dibandingkan dengan situasi saat ini. Dulu orangtua percaya seratus persen terhadap
cara guru mendidik. Dengan kepercayaan tersebut, meski yang diajar adalah anak bangsawan,
guru tidak sungkan untuk menindak tegas ketika peserta didik tidak disiplin.
Berbeda dengan sekarang, orangtua seperti tidak percaya sepenuhnya terhadap
cara guru mendidik, sehingga ketika terjadi gesekan antara guru dan siswa,
orangtua cenderung bersikap reaktif.
Peran Orangtua
Membentuk Karakter Anak
Selama pertumbuhan anak-anaknya, Bupati Sosroningrat selalu
mengawasi perkembangan mereka, terutama Kartini yang sejak kecil sifat dan
kecerdasannya telah menyita perhatian. Perkembangan karakter anak menjadi salah
satu bagian yang sangat diperhatikan oleh Bupati Sosroningrat. Bankan, untuk
menanamkan sikap belarasa (compassion),
beliau membiasakan anak-anaknya untuk ikut keluar ke tengah-tengah masyarakat,
agar mereka mengenal kehidupan rakyat kecil dan merasakan berbagai permasalahan
hidup yang dialami masyarakat. Hal tersebut terus dilakukan sampai Kartini
beranjak dewasa, seperti tertulis dalam penggalan surat Kartini dalam Door Duisternis Tot Licht melalui
Pramoedya Ananta Toer (2003:85).
“Tadi siang kami sungguh
terharu tersentuh oleh sekelumit derita hidup. Seorang bocah berumur 6 tahun berjualan
rumput. Ayah memanggilnya lalu mendengar ceritanya. Si bocah itu tidak berbapak;
emaknya pergi bekerja; di rumah ditinggalkannya dua orang adiknya. Kami tanyakan
apakah dia sudah makan. “Belum,” mereka hanya makan nasi sekali sehari, sore
hari kalau ibunya pulang dari bekerja; di siang hari mereka hanya makan kue
sagu aren seharga 0,5 sen .…”
Pengalaman bersama sang ayah menyaksikan penderitaan rakyat tersebut
kemudian membentuk karakter Kartini menjadi pribadi yang sangat peka dan
berbelarasa (compassion). Oleh karena
itu, di usianya yang masih sangat muda, Kartini sudah memiliki gagasan besar
untuk melawan budaya kawin paksa, poligami, pingitan, dan kebodohan yang menjadi
penyebab utama penderitaan rakyat melalui jalan pendidikan. Ia memanfaatkan
kemampuannya membaca, menulis dalam bahasa Belanda, dan pergaulan dengan sahabat-sahabatnya
dari Belanda untuk merumuskan langkah-langkah perjuangan yang akan ia lakukan.
Gagasan Pendidikan
Katini
Sejak usia 13 tahun, Kartini
sudah yakin bahwa pendidikan adalah jalan satu-satunya menuju kebebesan.
Kebebasan dari kolotnya tatanan adat dan kebodohan yang sengaja dipelihara. Terdorong
oleh keyakinan tersebut, ia kemudian memiliki keinginan kuat untuk menjadi guru.
Ia ingin mengajar terutama bagi putri-putri bangasawan, karena hanya mereka
yang memiliki akses terhadap pendidikan saat itu. Keinginannya untuk menjadi
guru terlihat dari penggalan surat Kartini kepada salah satu sahabatnya di
Belanda, Nyonya N. Van Kol melalui Soeroto (1982:64).
“Karena saya yakin
sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada masyarakat,
maka tidak ada yang lebih saya inginkan dari pada menjadi guru, agar supaya
kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita.”
Untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut, pada bulan Juni 1903
Kartini membuka sekolah gadis yang pertama. Sekolah tersebut dibuka setelah ia
mengalami berbagai pergolakan yang nyaris mematahkan semangat perjuangannya. Salah
satunya ketika ia harus menolak beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke
Belanda dan memutuskan untuk menikah.
Kurikulum yang diterapkan di sekolah Kartini berbeda dari
sekolah-sekolah Hindia Belanda pada masa itu. Kartini berpendapat bahwa pendidikan
sebaiknya tidak hanya mengasah otak, tetapi juga budi pekerti dan pembinaan
watak. Perkembangan murid jangan dipaksakan, melainkan menurut bakat
masing-masing. Pelajaran yang diperlukan untuk menjadi pemimpin rumah tangga
dan ibu yang baik harus mendapatkan perhatian.
Sebuah gagasan yang sungguh melampaui zaman, terbukti saat
ini pendidikan karakter yang terkait budi pekerti dan pembinaan watak masih
menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Penguatan pendidikan karakter
yang dicanangkan pemerintah dalam Kurikulum 2013 revisi seolah menjadi langkah
lamban untuk menindaklanjuti gagasan besar yang sudah lahir sejak lebih dari
satu abad yang lalu. Bahkan, permasalahan karakter saat ini justru menjadi
permasalahan yang akut, karena minimnya teladan dari para pemimpin bangsa. Setiap
hari masyarakat disuguhi berita tentang korupsi, skandal pejabat, dan berita
bohong yang menyesatkan.
Situasi yang kita hadapi saat ini dan satu abad yang lalu seolah
hanya berbalik. Dulu permasalahan karakter belum menjadi permasalahan yang akut,
karena fokus perjuangan lebih pada upaya melepaskan diri dari kungkungan adat
dan kebodohan yang sengaja diperlihara oleh Bangsa Kolonial. Sekarang kita bisa
merasakan hasil perjuangan tersebut, tetapi masih harus berjuang keras
mengahadapi masalah karakter generasi muda kita yang kian hari kian merosot. Identitas
ketimuran kita semakin luntur yang tercermin dari semakin menurunnya sikap
hormat siswa terhadap para guru.
Selain gagasan tentang pendidikan karakter, hal lain yang juga
mengagumkan dari sosok Kartini adalah gagasan tentang pentingnya pelibatan
keluarga (terutama ibu) dalam penyelenggaraan pendidikan anak. Seperti kita
ketahui, tahun 2017 lalu pemerintah giat mengampanyekan pentingnya peran
keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan anak yang dipertegas dengan dikeluarkannya
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017. Gagasan tersebut ternyata sudah dipikirkan
oleh Kartini lebih dari satu abad yang lalu, terlihat dari penggalan surat melalui
Soeroto (1982:217).
“Bilamana pemerintah sungguh
mau membudayakan rakyat, maka baik pendidikan ilmu pengetahuan maupun
pendidikan budi pekerti harus dikerjakan bersama-sama. Untuk yang akhir ini
siapakah yang lebih mampu meningkatkan budi pekerti orang daripada kaum wanita,
kaum ibu. Di pangkuan ibulah orang mendapatkan pendidikan yang pertama. Di situ
anak pertama kali belajar merasakan, berpikir, dan berbicara. Pendidikan yang
paling awal itu besar artinya bagi seluruh hidupnya.”
Terlihat jelas bahwa Kartini sangat menyadari pentingnya
peran keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan anak, karena pendidikan pertama
berlangsung dalam lingkungan keluarga. Yang terjadi saat ini, orangtua
cenderung menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik kepada sekolah.
Semangat emansipasi bagi kaum hawa hanya dimaknai sebagai kebebasan untuk
meraih pendidikan tinggi, peluang kerja, dan terlibat dalam hierarki pemerintahan,
tetapi kurang dalam hal penyelenggaraan pendidikan anak.
Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena akan
berpengaruh terhadap generasi yang akan kita bentuk ke depan. Jika rasa sayang
hanya diekspresikan melalui pemenuhan materi, maka generasi yang akan
dihasilkan adalah generasi berdaya juang yang lemah, konsumtif, dan hedonis.
Sebaliknya, jika kasih sayang orangtua diekspresikan dengan pendampingan
positif dan teladan yang baik seperti yang dilakukan Bupati Sosningrat terhadap
Kartini, maka generasi yang akan dihasilkan adalah generasi yang cerdas dengan
daya juang dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Karakter yang tentunya
sangat kita butuhkan untuk bisa memenang persaingan di era milenial. (WELLYSERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar