GURU VS SISWA DAN ORANGTUA

Sumber gambar: www.hukumonline.com
Awal Juni 2016, dunia pendidikan kita dihebohkan oleh kisah memilukan yang datang dari pelosok Kalimantan Barat, tepatnya di Desa Sungai Radak, Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya. Seorang guru honorer bernama Jamilah harus merasakan pahitnya pengalaman berurusan dengan orangtua siswa yang tidak terima dengan tindakan guru mendisiplinkan siswa.



Tindakan Jamilah menggunting rambut siswanya yang tidak sesuai dengan tata tertib sekolah, ternyata tidak bisa diterima. Sore hari, ketika Jamilah sedang bersantai dan melepas lelah di rumah dinasnya, orangtua siswa yang tidak terima dengan tindakan Jamilah datang menuntut balas. Mereka melepas paksa jilbab yang dikenakan Jamilah, kemudian menggunting rambutnya sama seperti yang dilakukan sang guru terhadap anak mereka. Jamilah yang tidak berdaya hanya bisa menangis saat mendapat perlakuan yang sangat melecehkan profesinya tersebut.
Berlanjut ke tahun 2018, kasus tindak kekerasan terhadap guru naik ke tingkat mengkhawatirkan dan menimbulkan dampak psikologis yang luar biasa bagi setiap orang yang menekuni profesi ini. Untuk pertama kali dalam sejarah dunia pendidikan kita, seorang guru tewas di tangan muridnya sendiri. Sebagaimana disampaikan oleh Polres Sampang, yang dikutip beberapa media, peristiwa ini terjadi di SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur. Lagi-lagi seorang guru honorer bernama Ahmad Budi Cahyono dipukul oleh muridnya sendiri saat sedang mengajar seni lukis. Sang murid mengamuk setelah sebelumnya Guru Budi menegur dengan cara menggoreskan cat ke wajah sang murid.
Pukulan yang diterima Guru Budi ternyata berakibat fatal, setibanya di rumah Guru Budi mengeluh sakit kepala. Sang istri pun membawanya ke Puskesmas. Pihak Puskesmas ternyata tidak sanggup menangani sehingga harus dirujuk ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, oleh dokter yang bersangkutan di diagnosis mati batang otak dan diprediksi tidak akan bertahan lama. Benar yang dikatakan dokter, beberapa saat kemudian Guru Budi menghembuskan napas terakhirnya.
Mendengar kabar kematian Guru Budi, dunia pendidikan kita terhenyak, semua pemerhati pendidikan bahkan presiden menyatakan prihatin atas tragedi yang menimpa Guru Budi. Namun, seolah belum hilang duka akibat meninggalnya Guru Budi, aksi kekerasan terhadap guru kembali terjadi. Kali ini menimpa seorang Kepala SMP 4 Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, bernama Guru Astri. Penganiayaan dilakukan oleh orangtua siswa yang keberatan anaknya diminta membuat surat pernyataan karena melakukan pelanggaran  tata tertib sekolah.
Guru Astri dianiaya di ruang kepala sekolah, ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman di lingkungan sekolah. Akibat penganiayaan tersebut, Guru Astri mengalami retak di bagian hidung, tangan mengalami luka robek, dan bagian kepala mengalami sakit akibat pukulan. Beruntung aksi penganiayaan tersebut cepat diketahui dan kemudian dicegah oleh guru-guru lainnya.
Tiga contoh kasus tindakan kekerasan terhadap guru tersebut, hanya sebagian dari banyak kasus yang mungkin tidak semua terekspos oleh media massa. Profesi guru yang seharusnya tidak mengandung risiko, kini berubah menjadi menakutkan. Banyak guru diancam, bahkan sampai harus menerima tindakan kekerasan, karena orangtua siswa tidak terima cara guru mendidik. Di satu sisi, orangtua siswa seperti lepas tangan terhadap pendidikan anak dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik kepada sekolah, tetapi di sisi lain ada indikasi bahwa orangtua siswa tidak percaya seratus persen terhadap cara guru mendidik, sehingga ketika terjadi masalah orangtua cenderung bersikap reaktif.

Ada hal yang sepertinya belum dipahami dengan baik oleh orangtua siswa, bahwa penyelenggaraan pendidikan anak merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat, seperti tertuang dalam Pemendikbud Nomor 30 Tahun 2017 tentang pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa keluarga merupakan tempat penyelenggaraan pendidikan yang pertama bagi anak. Bahkan, beberapa pakar pendidikan mengatakan bahwa ayah, ibu, dan anak merupakan kesatuan tritunggal yang menentukan kualitas anak, baik secara kognitif maupun psikomotorik. Kegagalan orangtua memainkan perannya menjalankan pendidikan yang bersifat primer tersebut akan berdampak pada pelaksanaan pendidikan di sekolah konvensional.

Seperti kata Profesor Driyarkara (1980:112) seorang filsuf dan tokoh pendidikan Indonesia yang mengatakan bahwa tidak ada tempat “persemaian” anak yang lebih baik daripada lingkungan keluarga. Artinya, pendidikan yang terlaksana dalam lingkungan keluarga bersifat fundamental dan tidak pernah bisa digantikan sepenuhnya oleh guru. Kalau orangtua memupuk anak dengan kepribadian yang baik tentu dalam perkembangannya, anak tersebut akan bertumbuh-kembang dengan kepribadian yang baik, hal ini pun tentu berlaku sebaliknya.

Sebagai guru saya sering mendengar siswa mengatakan, “Orangtua saya saja tidak pernah mengomeli saya seperti ini!” atau “Bapak jangan begitu, orangtua saya saja tidak pernah menghukum saya seperti ini!” perkataan-perkataan yang mengindikasikan bahwa siswa keberatan kalau guru mengambil peran terlalu jauh melampaui orangtua mereka di rumah.

Lalu, peran apa yang semestinya diambil oleh orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan anak? Mengacu pada Permendikbud Nomor 30 tahun 2017, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan.

Pertama, orangtua siswa harus selalu hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan sekolah. Dengan menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan sekolah, misalnya pada saat pembukaan tahun ajaran baru dan pembagian hasil belajar siswa setiap semester, orangtua siswa mendapatkan  informasi yang komprehensif terkait perkembangan kognitif, psikomotorik, dan afektif anak selama berproses di sekolah. Orangtua juga harus bersedia berdiskusi dengan guru - terutama wali kelas, terkait sejauh mana orangtua sudah menjalankan perannya, agar proses mendidik betul-betul utuh dan tidak seratus persen mengandalkan sekolah.

Kedua, orangtua siswa bekerjasama dengan pihak sekolah terkait pendidikan karakter anak. Pihak sekolah tentu tidak bisa berdiri sendiri, harus ada kerjasama dengan pihak keluarga, karena membangun karakter bukan perkara mudah. Setiap komponen harus ambil bagian terutama keluarga dan lingkungan masyarakat. Prof. Driyarkara (1980:64) juga mengatakan bahwa jika masyarakat berkembang maka pendidikan akan ikut berkembang juga, oleh karena itu masyarakat juga memiliki peran besar dalam mengembangkan pendidikan karakter anak.

Lingkungan keluarga, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan tempat pendidikan pertama anak yang sifatnya fundamental. Oleh karena itu, yang harus dilakukan orangtua adalah berperan aktif memantau perkembangan pribadi siswa dan memberi koreksi jika ada yang keliru. Kesibukan dalam pekerjaan hendaknya tidak menjadi alasan untuk menomorduakan kualitas pendampingan terhadap anak.

Ketiga, orangtua siswa hendaknya selalu melihat permasalahan yang melibatkan siswa dan guru secara objektif. Tidak perlu bertindak terlampau reaktif ketika anak bermasalah dengan guru, karena dalam situasi tertentu perselisihan terkadang sulit terelakkan. Kita semua tahu bahwa karakter peserta didik sangatlah beragam, ada siswa yang ketika melakukan pelanggaran cukup dinasihati dan diberi hukuman yang bersifat mendidik sudah cukup, tetapi ada juga siswa yang berulang kali melakukan pelanggaran dan diberi sanksi tetap tidak mengalami perubahan, karena sanksi yang diberikan tidak menimbulkan efek jera. Situasi seperti inilah yang terkadang memaksa guru bertindak tegas.

Keempat, orangtua siswa terlibat dalam tim pencegahan tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Dengan maraknya aksi kekerasan yang melibatkan siswa, orangtua, dan guru, maka sudah saatnya bagi sekolah-sekolah untuk membentuk tim pencegah tindakan kekerasan di sekolah. Pembentukan tim ini dapat melibatkan komite sekolah. Ketika tim ini terbentuk, orangtua siswa harus bersedia terlibat aktif di dalamnya, sehingga ketika terjadi permasalahan yang melibatkan guru dan siswa, orangtua tidak hanya menyalahkan sekolah tetapi ikut mengambil tanggung jawab untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pada akhirnya, semua pihak tentu tidak menginginkan tindakan kekerasan terjadi di lingkungan sekolah, baik guru terhadap siswa ataupun sebaliknya. Meski demikian, situasi di lapangan sangatlah cair dan terkadang tidak sama dengan teori yang ada di buku-buku, sehingga terkadang menuntut guru bertindak tegas. Ketika guru bertindak tegas dan siswa sulit menerima, di situlah kerjasama antara guru dan orangtua siswa sangat diperlukan, sehingga aksi-aksi kekerasan yang lebih besar dari hanya sekadar menggunting rambut siswa, menggoreskan cat ke wajah siswa, dan membuat surat pernyataan karena melanggar tata tertib sekolah tidak terulang kembali di lingkungan sekolah kita. (WELLY SERAN)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.