Tahun
pelajaran 2015-2016 segera dimulai. Di hari pertama tahun pelajaran baru, beberapa
guru dari sekolah swasta harus siap menyaksikan pemandangan bahwa masih banyak
kursi yang kosong di sekolah mereka. Kursi kosong bukan karena banyak siswa membolos
di hari pertama masuk sekolah, tetapi karena memang jumlah siswa baru yang
mendaftar, tidak lagi mampu memenuhi kuota sebagai akibat dari “gerakan bersama”
menambah kelas baru di sekolah-sekolah negeri, demi tercapainya target mengamankan
tunjangan sertifikasi, pada tahun pelajaran berikutnya.
Saat ini para siswa dan
guru sedang menikmati masa libur semester. Bagi guru yang berstatus PNS, libur
semester tahun ini tentu menyenangkan, karena mereka bisa mengisi waktu liburan
dengan berbagai aktivitas bersama keluarga. Apalagi libur kali ini bertepatan
dengan bulan suci ramadhan – bisa menunaikan ibadah puasa sambil mempersiapkan
lebaran bersama anggota keluarga dalam suasana libur, tentu sangat menyenangkan.
Lain halnya dengan guru-guru di sekolah swasta, libur tahun ini akan sedikit
terganggu dengan kondisi bahwa masih banyak kursi di sekolah mereka yang belum terisi.
Seperti yang terjadi di
salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta, di salah satu kabupaten di Provinsi
Sumatera Selatan. Memasuki minggu pertama bulan Juli, sekolah ini masih
kekurangan siswa. Kekurangan jumlah siswa pun tidak sedikit, yakni mencapai
satu rombongan belajar.
Menilik data Penerimaan
Siswa Baru (PSB) tahun sebelumnya, pada minggu pertama bulan Juli seharusnya
pihak sekolah sudah menutup pendaftaran, karena kuota sudah terpenuhi. Akan
tetapi, hal tersebut tidak lagi terjadi pada tahun pelajaran 2015-2016. Pihak sekolah
seperti kesulitan menjaring siswa baru karena kalah bersaing dengan
sekolah-sekolah negeri yang seakan berlomba-lomba menambah kuota PSB untuk
mengisi kelas-kelas baru. Rata-rata setiap sekolah membuka dua sampai tiga
kelas baru, dengan perincian delapan sampai sepuluh kelas baru per sekolah.
Terhadap kondisi ini, Dinas
Pendidikan selaku pemangku kebijakan tertinggi di tingkat kabupaten kota
seperti menutup mata terhadap keberlangsungan sekolah-sekolah swasta yang
semakin dekat dengan kondisi mati suri. Dinas Pendidikan tidak memberikan
regulasi yang jelas berkait prosedur dan kuota ideal yang boleh diterima oleh
sekolah-sekolah negeri. Mereka dibebaskan untuk membuka pendaftaran
seluas-luasnya, bahkan sampai melebihi daya tampung.
Kondisi seperti ini
sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun terakhir semenjak program sertifikasi
digulirkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008. Namun, tahun ini yang
terparah, dengan membuka pendaftaran tidak terbatas, sekolah-sekolah negeri
seperti ingin membuktikan bahwa sebagus apapun kualitas yang ditawarkan sekolah
swasta, sekolah negeri tetap menjadi pilihan utama masyarakat.
Sekolah-sekolah swasta bukannya
tanpa usaha. Berbagai strategi dilakukan, mulai dari pemenuhan berbagai fasilitas
belajar, sampai promosi tatap muka ke pelosok-pelosok desa. Akan tetapi, toh,
pilihan tetap ada di tangan siswa dan orangtua, sekolah negeri tetap menjadi
primadona karena pertimbangan murah dan peluang diterima dibangku universitas
favorit melalui jalur undangan “dianggap” jauh lebih tinggi dibandingkan
sekolah-sekolah swasta. Belum lagi pandangan masyarakat yang masih beranggapan
bahwa sekolah negeri lebih bergengsi daripada sekolah swasta.
Gagal
paham kebijakan sertifikasi
Penurunan animo masyarakat
terhadap sekolah-sekolah swasta tidak terlepas dari penambahan jumlah rombongan
belajar di sekolah-sekolah negeri yang terkesan “semaunya”. Penambahan
rombongan belajar tersebut, bukan karena jumlah siswa lulusan satuan pendidikan
di bawahnya mengalami peningkatan signifikan, tetapi lebih kepada upaya untuk mengejar
target terpenuhinya beban mengajar minimal 24 jam per minggu bagi guru penerima
tunjangan sertifikasi.
Fakta ini menjadi ironi
bagi sekolah-sekolah swasta. Program sertifikasi yang semula ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan pamor profesi guru, ternyata justru menjadi
momok menakutkan. Demi memenuhi salah satu syarat penerimaam tunjangan sertifikasi,
berbagai cara dilakukan, salah satunya dengan membuka kelas baru. Motovasinya, dengan
membuka kelas baru jam mengajar akan bertambah, sehingga kewajiban mengajar 24
jam per minggu dapat terpenuhi dan tunjangan sertifikasi tetap mengalir ke saku
para guru.
Bagi guru yang
kekurangan jam mengajar, opsi lain, misalnya meminta jam mengajar ke
sekolah-sekolah lain di tingkat kabupaten kota tetap akan sulit, karena semua
sekolah butuh jam mengajar demi alasan yang sama, yaitu mengamankan tunjangan
sertifikasi. Apalagi dengan semakin diperketatnya aturan, bahwa jam mengajar
yang dihitung sebagai beban mengajar 24 jam per minggu, harus berasal dari mata
pelajaran yang sama sesuai sertifikat mengajar. Guru sejarah di SMA A jika
ingin menambah jam mengajar di SMA B tetap harus mengajar mata pelajaran sejarah.
Jika tidak sesuai sertifikat, misalnya guru Sejarah SMA A mengajar Seni Rupa di
SMA B, maka jam mengajar Seni Rupa tidak akan dihitung sebagai beban mengajar.
Bagi sekolah swasta,
kondisi seperti ini tentu sangat tidak menguntungkan. Pergerakan
sekolah-sekolah negeri yang membuka penerimaan siswa baru “semaunya” secara
langsung berdampak pada jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah-sekolah swasta,
karena pilihan utama orangtua tetap tertuju pada sekolah-sekolah negeri yang
dinilai lebih murah dan bergengsi.
Menghadapi kondisi
seperti ini, para guru sekolah swasta dipaksa memutar otak untuk bisa terus mempertahankan
keberlangsungan sekolah masing-masing. Tawaran fasilitas belajar yang super
lengkap dan pendampingan maksimal terhadap para siswa saja, ternyata tidak
cukup untuk menarik minat siswa dan orangtua. Sebab itu, peran dan fungsi
pengawasan dari Dinas Pendidikan selaku otoritas tertinggi di tingkat kabupaten
kota sangat dibutuhkan untuk menjalankan roda pendidikan sekolah-sekolah swasta.
Peran
Dinas Pendidikan
Peran dan fungsi
pengawasan oleh Dinas Pendidikan terhadap situasi yang berkembang setelah
digulirkannya program sertifikasi guru sangat dibutuhkan oleh sekolah-sekolah
swasta. Gerakan bersama menambah kelas yang dilakukan oleh sekolah-sekolah
negeri demi melancarkan tunjangan sertifikasi, agaknya telah menyimpang dari
visi semula program tersebut. Tujuan dari program yang sebenarnya baik,
kenyataannya justru ditanggapi negatif oleh para guru, yaitu dengan mengambil
jalan pintas menambah kelas baru.
Jangan sampai orientasi
dari program sertifikasi beralih dari semula meningkatkan martabat dan kinerja para
guru menjadi sarana bisnis, yang tujuan utamanya bukan untuk mencerdaskan,
tetapi hanya sekadar memeroleh keuntungan. Jika yang terjadi demikian, maka
pemberian tunjangan sertifikasi dengan mengharuskan guru mengajar minimal 24
jam per minggu perlu dikaji ulang.
Seharusnya, sekolah-sekolah
yang gurunya kekurangan jam mengajar, tidak dibebaskan untuk membuka kelas
baru, yang berdampak kurang baik terhadap keberlangsungan sekolah-sekolah
swasta, tetapi guru-guru tersebut dipindahkan ke sekolah-sekolah di pelosok,
yang notabene masih banyak membutuhkan tenaga guru.
Jika solusi yang
diambil selalu sama dari tahun ke tahun, yaitu menambah kelas baru setiap kali
ada guru yang kekurangan jam mengajar, maka pemerataan tenaga kependidikan di
negeri ini tidak akan pernah tercapai, karena tenaga guru akan selalu bertumpuk
di kota-kota besar, sementara sekolah-sekolah di pelosok selamanya akan tetap
kekurangan guru.
Untuk mengatasi
kesenjangan yang terjadi di lapangan berkait turunnya animo masyarakat terhadap
sekolah swasta, Dinas Pendidikan agaknya perlu turun tangan dengan memberikan
surat edaran kepada sekolah-sekolah negeri tentang rambu-rambu PSB. Dinas
Pendidikan harus menerbitkan data yang jelas tentang jumlah siswa lulusan TK, SD,
SMP, dan SMA setiap tahun. Berdasarkan data tersebut, Dinas Pendidikan dengan
otoritasnya juga perlu menyusun rambu-rambu PSB, agar jumlah siswa lulusan dari
satuan pendidikan tertentu yang akan melanjutkan ke jenjang berikutnya dapat
tersebar secara merata. Dinas Pendidikan juga perlu menerbitkan aturan yang
jelas tentang berapa jumlah siswa yang boleh diterima di setiap sekolah dan
berapa kelas yang boleh dibuka, agar aksi monopoli sekolah-sekolah negeri terhadap
sekolah-sekolah swasta segera dihentikan.
Dalam hal ini penulis sebagai
guru prihatin menyaksikan kebijakan yang diambil oleh beberapa sekolah. Mereka
membuka Penerimaan Siswa baru dalam jumlah besar sampai melebihi daya tampung.
Untuk mengatasi kelebihan daya tampung tersebut pihak sekolah sampai harus
membuka dua shift (double shift) pembelajaran menjadi kelas pagi dan sore. Sungguh
sangat disayangkan, di satu sisi banyak sekolah swasta yang terancam gulung
tikar karena kekurangan siswa, namun di sisi yang lain sekolah-sekolah negeri
seperti kelebihan muatan sampai harus membagi kelas menjadi dua shift
pembelajaran, pagi dan sore.
Sedihnya lagi, ketika
harus mengetahui bahwa semua itu dilakukan demi mengamankan tunjangan sertifikasi,
bukan demi kepentingan siswa. Jika kepentingan siswa yang diutamakan mengapa sekolah-sekolah
negeri tidak berbagi dengan sekolah-sekolah swasta yang masih kekurangan siswa.
Para guru seperti mengabaikan efektifitas pendampingan terhadap para siswa –
prinsipnya yang penting beban mengajar 24 jam guru-guru penerima tunjangan
sertifikasi terpenuhi, para siswa tertangani dengan baik atau tidak itu urusan lain.
Gawat, jika situasi ini terus dibiarkan oleh otoritas di atasnya.
Fakta lain yang lebih mengkhawatirkan
adalah bahwa masih ada sekolah swasta terkemuka yang dalam sejarah
perjalanannya belum pernah mengalami kekurangan siswa, pada tahun ini harus
mengalami kenyataan pahit tersebut. Mereka kalah dalam persaingan menjaring
siswa baru. Menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimana bisa sekolah dengan
catatan prestasi gemilang sampai ke tingkat nasional, fasilitas pembelajaran
super lengkap, lingkungan belajar yang sehat, ditambah lagi pelayanan prima
para guru terhadap para siswa, harus dihadapkan pada kenyataan bahwa sekolah
mereka tidak lagi diminati masyarakat. Pertanyaannya kemudian, lalu sekolah seperti
apa lagi yang diinginkan oleh masyarakat? Apakah hanya sekadar (maaf) murah?
Inilah yang penulis
maksud sebagai tunjangan sertifikasi mengubah mindset guru, matikan sekolah
swasta. Artinya, program sertifikasi guru pada dasarnya memiliki tujuan yang
mulia, yaitu untuk memberikan penghargaan terhadap profesi guru. Dengan
penghargaan tersebut diharapkan pandangan masyarakat terhadap profesi guru
berubah - profesi guru menjadi pofesi yang terhormat dengan penghasilan yang
menjanjikan.
Namun, kondisi di
lapangan menunjukkan bahwa para aktor pendidikan, khususnya guru gagal memahami
maksud tersebut. Aksi menjaring siswa sebanyak-banyaknya untuk menambah jam
mengajar di sekolah masing-masing demi mengamankan tunjangan sertifikasi, telah
merusak tujuan semula program sertifikasi. Demi tunjangan sertifikasi, para
guru rela melakukan apa saja, termasuk mengabaikan nasib rekan sesama guru yang
mengajar di sekolah-sekolah swasta.
Oleh,
Welly Hadi Nugroho
Seran, S. Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar