Untuk bisa bersaing dalam dunia
pendidikan sekarang, tiga hal ini perlu diperhatikan, yaitu tidak
terlena dengan nama besar, mau melihat keluar, dan selalu siap menghadapi
perubahan.
“Kami tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi saya tidak mengerti mengapa kami kalah,” kalimat ini disampaikan oleh CEO Nokia, saat mengumumkan mundurnya Nokia dari panggung bisnis perangkat telekomunikasi dunia yang kemudian diakuisisi oleh Microsof. Pernyataan tersebut diiringi isak tangis mendalam dari seluruh tim manajemen yang hadir dalam konferensi pers saat itu.
Mundurnya
Nokia dari panggung bisnis perangkat telekomunikasi dunia sangat disayangkan,
mengingat sejak tahun 1998 perusahaan asal Finlandia ini berhasil menguasai bisnis
tersebut. Nokia berhasil meraih puncak kejayaannya, sampai pada tahun 2011
muncul Android sebagai operating system dari Google untuk perangkat handphone canggih, yang kita kenal sebagai
smartphone.
Satu
tahun kemudian pada 2012, Nokia kalah bersaing dengan Samsung dan Apple sebagai
produsen smartphone terbesar. Kekalahan
tersebut berimbas pada menurunnya harga saham secara drastis. Penurunan harga
saham dan hilangnya peluang untuk bisa bertahan membuat para petinggi perusahaan
menyerah dan terpaksa merelakan Nokia diakuisisi oleh Microsoft pada 2014 lalu.
Barangkali
Nokia memang tidak melakukan kesalahan, mereka hanya tidak mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi begitu cepat. Terlena dengan kejayaannya, Nokia tidak
belajar dari lingkungan sekitar. Pesaing baru yang jeli melihat peluang masuk
dengan menawarkan inovasi baru yang lebih segar dan menarik. Sebagaimana hukum
pasar, konsumen dengan mudah berpaling tatkala disuguhi tawaran baru yang lebih
inovatif dan menguntungkan. Hasil akhirnya jelas, Nokia mengalami kemunduran
dan kalah dalam persaingan.
Kisah
kebangkrutan Nokia sebagai perusahaan ternama penyedia perangkat telekomunikasi
seakan mengingatkan kita untuk selalu awas terhadap perubahan yang senantiasa
terjadi dalam setiap aspek kehidupan. Seperti kata Prof. Renald Kasali praktisi
bisnis dan penggagas rumah perubahan, “Tidak ada yang abadi kecuali
perubahan itu sendiri”. Artinya, perubahan pasti akan terjadi pada setiap
orang, lingkungan, dan zaman. Perubahan itu bisa menguntungkan, tetapi juga berpotensi
menghancurkan kalau kita tidak siap.
Lantas,
bagaimana dengan perubahan dalam dunia pendidikan kita? Menguntungkankah atau justru
berpotensi menghancurkan? Belajar dari kisah kebangkrutan Nokia, setidaknya ada
tiga pelajaran penting yang dapat kita petik, yaitu: (1) Nokia terlampau terlena
dengan nama besarnya; (2) terlalu nyaman dengan sistem kerja yang mereka terapkan
tanpa sekali-kali melihat keluar; dan (3) tidak siap menghadapi derasnya arus perubahan.
Pertama,
terlena dengan nama besar. Seorang pensiunan guru pernah berkata kepada saya, “Kita tidak
boleh terbuai dengan nama besar dan kejayaan masa lalu, nama besar dan kejayaan
masa lalu cukuplah dijadikan sebagai motivasi untuk terus meningkatkan mutu
pendidikan yang sekarang dan di masa yang akan datang”. Pernyataan tersebut
muncul menyikapi permasalahan yang banyak dialami oleh sekolah-sekolah yang
dulu sangat diminati, tetapi sekarang justru mengalami penurunan pamor, karena munculnya
pesaing-pesaing baru yang menawarkan kualitas hampir sepadan.
Sebagaimana
diketahui sejak pemerintah menetapkan 20% dari APBN digunakan untuk biaya
pendidikan nasional, kualitas pendidikan di Indonesia terus mengalami
peningkatan yang signifikan. Kualitas yang terus meningkat membawa perubahan pada
peta persaingan antarsekolah, terutama antara sekolah negeri dan swasta.
Beban
berat tentu berada di pundak para guru dan stakeholder
yang bekarya di sekolah-sekolah swasta. Bagi sekolah-sekolah yang dulu pernah
berada di puncak kejayaan dan sekarang mulai ditinggalkan, tidak ada pilihan lain selain berbenah dan mulai membuka diri melihat
perubahan yang terjadi di sekitar.
Para
guru dan stakeholder tidak boleh terlalu
lama larut dalam nostalgia kejayaan masa lalu. Banyak hal telah berubah mulai
dari tantangan yang dihadapi, kurikulum yang terus berkembang, keberpihakan
pemerintah, kualitas input siswa, dan
yang paling penting adalah peningkatan kualitas sekolah-sekolah lain yang
mungkin sebelumnya tidak masuk dalam daftar sekolah pesaing.
Kedua,
terlalu nyaman dengan sistem kerja yang diterapkan tanpa sekali-kali melihat
keluar. Beberapa sekolah terlalu nyaman dengan sistem kerja yang
mereka yakini dapat meningkatkan citra sekolah di mata customer. Hal ini banyak terjadi pada sekolah-sekolah swasta yang kita
tahu lebih independen dalam menetapkan kebijakan menyangkut sistem kerja yang
akan diterapkan.
Indenpendensi
dalam menetapkan sistem kerja ini semestinya bisa dimanfaatkan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan terhadap customer,
dengan catatan sistem kerja yang diadopsi sungguh-sungguh berorientasi pada
pendampingan maksimal terhadap peserta didik yang dibuktikan dengan catatan prestasi
gemilang para siswa. Sayangnya, yang jamak terjadi justru sebaliknya, di
beberapa sekolah peluang ini gagal dimanfaatkan karena sistem kerja yang
diterapkan kurang fokus pada pendampingan yang dapat menciptakan siswa
berprestasi.
Para
guru dan stakeholder lebih dipacu
untuk mengejar prestasi masing-masing yang menyebabkan pendampingan terhadap
siswa cenderung dinomorduakan. Di sisi lain, sekolah-sekolah di sekitar justru berlomba-lomba
memacu siswanya untuk berprestasi, karena mereka sadar bahwa hal utama yang
akan dilihat oleh masyarakat customer
ketika memilih sekolah adalah catatan prestasi para siswa di sekolah tersebut, bukan hal lain.
Sistem
kerja yang semula dimaksudkan untuk menaikkan citra sekolah pada akhirnya hanya
berhenti pada tatanan administratif semata. Selain sibuk mengejar prestasi
individu, para guru juga disibukkan dengan beragam tuntutan administrasi yang
terkadang justru tidak terkait langsung dengan tugas utama sebagai pendidik.
Dampaknya, output yang dihasilkan tidak
sesuai dengan yang diharapkan orangtua siswa, yang tentunya berpengaruh
terhadap jumlah siswa pendaftar pada tahun-tahun pelajaran berikutnya.
Ketiga,
tidak siap menghadapi perubahan. Banyak sekolah swasta yang terancam kolaps
karena kekurangan murid. Beberapa sekolah mulai mengambil kebijakan strategis guna
menghadapi perubahan ini. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari
pemenuhan berbagai fasilitas belajar, meningkatkan kualitas pelayanan, bahkan menaikkan
gaji guru dengan harapan kinerja guru juga meningkat.
Namun, pada praktiknya antara usaha dengan tuntutan birokrasi terkadang tidak sejalan, yang membuat para guru enggan berpikir tentang perubahan. Mereka lebih memilih bertahan pada comfort zone dan mengabaikan situasi genting yang ada di hadapan mereka. Pada akhirnya, bagi sekolah-sekolah yang dulu sangat diminati, nama besar dan kejayaan masa lalulah yang diharapkan dapat mendongkrak citra sekolah di mata customer.
Padahal,
sebaik-baiknya pencitraan sekolah pada akhirnya yang akan dilihat oleh
masyarakat customer adalah bagaimana
kualitas pendampingan sekolah terhadap siswa, seberapa banyak prestasi yang
diraih sekolah dalam satu tahun pelajaran, dan seberapa banyak ouput yang bisa melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi favorit. Tiga hal ini menjadi standar minimal yang digunakan oleh
siswa dan orangtua ketika memilih sekolah di tengah banyaknya pilihan saat
ini.
Inilah tantangan perubahan yang harus dihadapi saat ini. Cara pandang masyarakat telah mengalami pergeseran. Mereka tidak lagi mengandalkan pandangan subjektif
ketika memilih sekolah. Masyarakat mulai selektif dan kritis dengan lebih
mempertimbangkan situasi ril saat ini.
Pertanyaannya sekarang, sudah siapkah para guru dengan perubahan ini? (WELLYSERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar