THE BEST INPUT OR THE BEST PROCESS?

Sumber gambar Antaranews.com
Sekolah unggul semestinya tidak membatasi label unggul hanya pada input siswanya saja, tetapi lebih pada keunggulan proses mendidik tanpa membeda-bedakan latar belakang kemampuan siswa, terlebih hanya menitikberatkan perhatian pada kemampuan kognitif.
“Saya sebenarnya tidak setuju dengan adanya pengkotak-kotakan dalam dunia pendidikan - ada sekolah unggul dan tidak unggul,” kata seorang teman dalam sebuah obrolan di warung bakso. Beliau menyatakan kekecewaannya setelah melihat fenomena sekolah unggul yang marak bermunculan, tetapi membawa dampak kurang positif karena lebih berorientasi pada profit.
Sekolah unggul muncul hampir di setiap kabupaten kota. Predikat sebagai sekolah unggul, secara langsung mendongkrak popularitas, sehingga dalam waktu singkat sekolah tersebut mampu menjelma menjadi tujuan utama para calon peserta didik baru melanjutkan pendidikan. Kehadiran sekolah unggul secara tidak langsung seolah menihilkan keberadaan sekolah-sekolah lain (non-unggulan) yang sudah banyak memberikan sumbangsih selama puluhan tahun.
Animo siswa yang mendaftar semakin bertambah manakala sekolah unggul juga menawarkan beragam keistimewaan. Di tingkat SMA salah satu keistimewaan yang ditawarkan adalah peluang lulusan sekolah unggul untuk diterima di universitas negeri favorit lebih besar dibandingkan sekolah non-unggulan, apalagi swasta. Dengan tawaran seperti ini, maka tidak heran ketika penerimaan peserta didik baru (PPDB) dibuka, jumlah siswa yang mendaftar bisa membludak sampai tiga atau empat kali lipat dari kuota yang disediakan.
Jumlah siswa pendaftar yang membludak membuat pihak sekolah untuk membuka dua jalur pendaftaran - jalur prestasi dan reguler (tes). Inti dari dua proses seleksi tersebut adalah pihak sekolah hanya akan menerima siswa dengan kemampuan akademik di atas rata-rata (the best input). Artinya, hanya siswa terbaiklah yang akan mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah unggul.
Sebagai pendidik yang berpegang pada prinsip sekolah merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat dan oleh karenanya kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif siswa tidak bisa dipaksakan seragam saya mengkritisi kebijakan ini. Sekolah unggul semestinya tidak membatasi label unggul hanya pada input siswanya saja, tetapi lebih pada keunggulan proses mendidik tanpa membeda-bedakan latar belakang kemampuan siswa, terlebih hanya menitikberatkan perhatian pada kemampuan kognitif semata. Seperti kata Munif Chatif (2015), seorang konsultan pendidikan dengan konsep multiple intelligences mengatakan bahwa sekolah unggul semestinya meletakkan status unggulnya pada the best proses bukan hanya the best input.
Sekolah unggul seharusnya berani menerapkan sistem kuota pada proses penerimaan peserta didik baru. Siapa pun yang mendaftar harus diterima dan apabila kuota sudah terpenuhi pendaftaran ditutup. Para siswa yang diterima kemudian ditempa dengan proses yang mendidik, agar mereka dapat berprestasi sesuai minat dan bakat masing-masing. Begitulah seharusnya label sekolah unggul diterjemahkan, bukan hanya semata-mata fokus pada keunggulan input saja.
Ketika sekolah unggul hanya mau mendidik siswa cerdas, kemudian berbangga hati ketika beberapa dari siswa mampu berprestasi sampai ke tingkat nasional, lalu di mana letak keunggulan itu? Sebagai guru tentu kita paham bahwa mendidik siswa yang pada dasarnya sudah cerdas, jauh lebih mudah daripada mendidik siswa dengan kemampuan heterogen.
Kita semestinya lebih bangga terhadap sekolah-sekolah yang bersedia menerima siswa dengan segala kelebihan dan kekurangan, namun tetap mampu mencetak prestasi sampai ke tingkat nasional. Sekolah-sekolah seperti inilah yang seharusnya diberi tanda kehormatan sebagai “sekolah unggul”.
Dengan pola yang sekarang berjalan, di mana sekolah unggul hanya mengutamakan the best input, maka jurang pemisah antara siswa cerdas dan kurang cerdas akan semakin terbuka lebar. Siswa cerdas akan merasa dirinya yang paling hebat dan pasti sukses, sementara yang kurang cerdas akan merasa semakin rendah diri.
Demikian halnya dengan orangtua siswa, mereka akan merasa sangat bangga kalau anaknya bisa diterima di sekolah unggul dan merasa malu ketika anaknya gagal diterima di sekolah unggul. Sebuah kondisi yang tentu sangat berbahaya bagi tumbuh-kembang sang anak.
Selain itu, proses penerimaan peserta didik baru dengan sistem seleksi kemampuan akademik juga berpeluang membuka ruang bagi oknum guru untuk berlaku curang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses penerimaan siswa baru dengan sistem seleksi akademik banyak dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan, mulai dari penjualan formulir, jalur belakang dan beragam modus lainnya. (WELLY SERAN) 
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.