Masih seputar Ujian Nasional,
ketika itu hasil UN dibagikan bertepatan dengan hari Jumat, hari suci bagi umat
muslim untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid. Khawatir para siswa akan
melakukan konvoi di jalanan setelah penerimaan amplop kelulusan sehingga dapat mengganggu
umat muslim yang akan beribadah, pihak kepolisian bekerjasama dengan Dinas Pendidikan
memberikan imbauan kepada seluruh sekolah, untuk melaksanakan pengumuman
kelulusan setelah waktu Sholat Jumat berakhir. Artinya, hasil UN baru boleh
dibagikan setelah pukul 12.00 WIB.
Menanggapi
imbauan yang mengatasnamakan Dinas Pendidikan tersebut, dalam rapat dewan guru yang
sekaligus menentukan kelulusan siswa Kelas XII, kepala sekolah memberikan
penawaran kepada seluruh dewan guru, mau mengikuti imbauan Dinas Pendidikan
atau tetap melaksanakan pengumuman sesuai agenda sekolah? Dengan pertimbangan bahwa
akan ada konsekuensi logis yang akan diterima apabila sekolah gagal menertibkan
siswa.
Para guru peserta
rapat secara tegas menyatakan bahwa pengumuman kelulusan harus tetap
dilaksanakan sesuai agenda sebelumnya. Para guru menyatakan siap mengawasi
pergerakan siswa setelah hasil UN dibagikan. Melihat sikap optimis yang ditunjukkan
para guru, kepala sekolah pun memutuskan bahwa teknis penyampaian hasil UN
kepada siswa tetap dilaksanakan sesuai agenda yang telah ditetapkan. Artinya,
pihak sekolah tidak akan mematuhi instruksi dari Dinas Pendidikan.
Untuk
mewujudkan ketertiban pasca pengumuman hasil UN, pendekatan persuasif gencar
dilakukan oleh para guru. Imbauan tersurat disampaikan kepada siswa dan
orangtua sebelum pelaksanaan acara kelulusan. Begitu juga pada hari pelaksanaan,
kepala sekolah bahkan sempat beberapa
kali harus naik turun ke atas panggung untuk mengingatkan siswa agar tidak
melanggar kesepakatan dengan pihak sekolah, bahwa mereka tidak akan melakukan
aksi konvoi dan coret seragam setelah pengumuman kelulusan.
Instruksi
kepala sekolah dan pendekatan persuasif dari para guru ternyata ditanggapi
positif oleh para siswa. Tidak ada satupun siswa yang tertangkap tangan
melakukan aksi konvoi ataupun coret seragam ditempat umum, baik oleh para guru
maupun oleh aparat keamanan. Di media sosial pun tidak ditemukan foto aksi
pelanggaran siswa, seperti yang marak dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya –
setelah konvoi dan coret-coret seragam para siswa akan mengunggah foto mereka
ke media sosial.
Di sisi lain,
sekolah-sekolah yang menuruti imbauan dari Dinas Pendidikan dengan membagikan
hasil UN pada sore hari terlihat kesulitan mengendalikan siswanya. Setelah
hasil UN disampaikan puluhan siswa turun ke jalan untuk melakukan konvoi dan
melakukan aksi coret seragam. Para siswa sepertinya tidak ingin melewatkan
momen kelulusan, meski imbauan dari Dinas Pendidikan dari tahun ke tahun selalu
sama, yaitu dilarang melakukan konvoi dan aksi coret seragam setelah pengumuman
kelulusan.
Bisa karena biasa
Pengalaman
menyaksikan perilaku positif siswa seperti telah dikisahkan, mengingatkan
penulis pada sebuah tulisan berjudul “Tanpa
Aksi, Peduli Tak Berarti” yang dimuat di salah satu tabloid sekolah bernama
Getar. Tulisan tersebut menceritakan pengalaman seorang guru bersama siswa
berkait pendidikan karakter. Guru dalam tulisan tersebut menggugah rasa peduli
para siswa terhadap salah satu temannya yang sedang mengalami nasib kurang
beruntung – kehilangan sepeda sehingga sering tidak masuk sekolah.
Guru tersebut
membuka wawasan siswa tentang sikap peduli yang sesungguhnya, bahwa peduli
tidak cukup hanya ditunjukkan dengan ikut merasakan kemalangan yang dialami
olang lain, tetapi juga disertai dengan aksi nyata, yang nantinya dapat
meringankan beban orang lain. Celoteh guru ternyata mendapat respon dari para
siswa. Mereka kemudian melakukan aksi penggalangan dana, untuk membelikan
sepeda baru bagi teman mereka yang kehilangan.
Sungguh senang
hati sang guru saat itu. Ia merasa betul-betul menjadi seorang guru yang
sesungguhnya – guru yang mampu memberi pandangan sekaligus menggugah rasa peduli para siswa sampai pada aksi nyata. Lebih
lanjut guru tersebut bertutur, bahwa aksi para siswa yang mau bersusah payah menggalang
dana untuk membelikan sepada baru untuk teman mereka yang kehilangan, tidak
lahir begitu saja.
Aksi tersebut merupakan
buah dari pendidikan karakter yang ditanam kepada siswa dari hari ke hari,
dengan cara memberikan pandangan dan membuka wawasan siswa tentang berbagai
pemasalahan yang muncul dalam kehidupan sosial masyarakat, kemudian para siswa
melakukan tindakan untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut.
Meski berbeda
alur dan latar cerita, perilaku para siswa yang tetap mampu mengendalikan diri
untuk tidak melakukan aksi konvoi dan coret seragam, pun disadari sebagai salah
satu indikator keberhasilan sekolah dalam membentuk karakter siswa - meski belum
ada kajian secara ilmiah untuk membuktikan hal ini. Yang jelas, bagi remaja
usia SMA, menjauhkan diri dari kebiasaan yang sudah menjadi tradisi turun-temurun
pasca UN bukanlah hal mudah. Banyak godaan yang muncul dari teman-teman sebaya.
Belum lagi bujuk rayu yang mengatakan bahwa peristiwa kelulusan merupakan
peristiwa langka dan jarang terjadi, sehingga harus ditandai dengan aksi konvoi
dan coret seragam agar berkesan dan tak mudah dilupakan.
Para guru pun pasti
tidak asal bicara ketika menyanggupi tantangan kepala sekolah berkait teknis
pengumuman hasil UN, karena ada konsekuensi logis yang akan ditanggung oleh
sekolah apabila gagal mengendalikan siswa. Penulis sebagai salah satu guru di
sekolah tersebut juga yakin bahwa siswa akan mampu mengendalikan diri, karena
sekolah sudah memberikan bekal yang cukup kepada mereka tentang bagaimana
bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang menyangkut kepentingan diri
sendiri dan orang lain.
Bekal yang
dimaksud bukanlah sesuatu yang spektakuler dan membutuhkan dana besar, cukup melalui
aksi sederhana namun bermakna. Di sekolah, sikap jujur dan bertanggung sudah
dibiasakan sejak kali pertama siswa menginjakkan kaki di lingkungan sekolah. Untuk
menanamkan sikap jujur dan bertanggung jawab kepada siswa, sekolah mengadakan
program galon kejujuran. Tujuan utama program ini adalah menyediakan air minum
bagi siswa dari galon-galon yang telah disiapkan di beberapa titik di
lingkungan sekolah.
Ketika
mengambil minum, siswa menakar sendiri dan membayar sendiri tanpa harus diawasi
oleh guru. Para siswa diberi keleluasaan untuk membiasakan diri bersikap jujur
dan bertanggung jawab. Jujur ketika membayar dan bertanggung jawab ketika
memanfaatkan air dari galon kejujuran. Mengambil air sesuai takaran dan
kebutuhan minum - bukan untuk cuci muka dan kepentingan lain - merupakan salah
satu bentuk sikap tanggung jawab yang ditunjukkan oleh siswa terhadap fasilitas
bersama yang disediakan sekolah. Kebiasaan tersebut terus dilakukan setiap hari
selama tiga tahun dan tanpa disadari kebiasaan memberi dokrin positif, sehingga
para siswa terbiasa untuk bertanggung jawab segala tindakannya.
Penegakan
kedisiplinan yang super ketat di sekolah juga memacu siswa untuk berani bertanggung
jawab terhadap pilihannya. Ketika siswa mengetahui bahwa di sekolah ada aturan
tidak boleh menggunakan celana pensil kemudian ada siswa yang tetap memaksakan
kehendak dan melanggar aturan tersebut, maka siswa bersangkutan harus siap
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Risiko terburuk dari pelanggaran semacam
ini adalah celana siswa bersangkutan akan disobek sebatas lutut, atau bisa juga
celana siswa dipotong sebatas lutut apabila pelanggaran yang dilakukan sudah berulang-kali.
Begitu pula dengan penggunaan handphone,
apabila ada siswa yang melanggar, maka siswa yang berbuat harus mau
menghadirkan orangtua ke sekolah untuk mengambil handphone yang disita oleh guru.
Penulis
meyakini bahwa pembiasaan-pembiasaan tersebut merupakan cikal bakal tumbuhnya
sikap bertanggung jawab yang ditunjukkan oleh siswa. Mereka tidak ingin
mencoreng nama baik almamater, sehingga lebih memilih untuk tidak melakukan
aksi konvoi dan coret seragam di jalanan. Semua yang dilakukan di sekolah
semala tiga tahun, berkait pendidikan karakter, secara tidak langsung telah
memberi dokrin positif bagi perkembangan pribadi para siswa. Dengan pembiasaan
dan pendampingan yang maksimal tersebut, maka tidak ada alasan bagi para guru
untuk menolak tantangan dari kepala sekolah, “Mau mengikuti imbauan Dinas
Pendidikan atau tetap jalan sesuai agenda?”. (WELLYSERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar