Salah satu dampak negatif yang dikhawatirkan dari diberlakukannya Permen
nomor 16 tahun 2009 yang salah satu pasalnya mengatur tentang karya tulis
sebagai syarat kenaikan pangkat guru adalah kelak akan bermunculan tawaran jasa
membuat karya tulis bagi para guru yang ingin naik pangkat. Terbukti, kini
penawaran jasa pembuatan karya tulis oleh oknum-konum tertentu bagi guru yang
akan naik pangkat semakin mudah ditemukan.
Sebagaimana diketahui dalam peraturan menteri tersebut dijelaskan bahwa
kenaikan pangkat guru pertama, pangkat penata muda tingkat I, golongan ruang
III/b sampai dengan guru utama, pangkat pembina utama, golongan ruang IV/e, diwajibkan
melakukan kegiatan pengembangan profesi berkelanjutan. Pengembangan profesi berkelanjutan
yang dimaksud salah satunya adalah wajib melakukan publikasi karya ilmiah
dan/atau karya inovatif.
Peraturan yang mulai diberlakukan sejak periode Oktober 2013 lalu ini, ternyata
belum mampu dijalankan oleh semua guru. Justru sebaliknya, banyak guru merasa
terbebani dengan Permen ini dan lebih memilih pasrah, tidak naik pangkat
daripada harus membuat karya tulis dengan prosedur dan sistematika yang dianggap
rumit. Situasi seperti ini banyak dialami, khususnya oleh guru-guru di daerah.
Meski akses terhadap informasi sudah tidak terbatas, tetapi kebanyakan guru
masih mengalami kesulitan ketika diminta membuat karya tulis.
Situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menarik
keuntungan dari kesulitan yang dialami para guru. Berbagai pihak, baik
perorangan maupun lembaga tertentu ikut menawarkan jasa membuat karya tulis
bagi para guru. Modusnya, mereka akan memberikan pendampingan kepada para guru
membuat karya tulis, mulai dari penyusunan proposal, seminar, sampai pada
proses publikasi karya tulis di jurnal nasional.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa praktik ini tidak lagi dilakukan di
bawah meja, banyak pihak yang secara terang-terangan menawarkan jasanya di
depan forum terbuka. Informasi yang diberikan pun lengkap dengan tarif yang
harus dibayar oleh guru dan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk proses
pembuatan karya tulis. Seperti yang pernah saya alami, ketika suatu saat diutus
oleh sekolah untuk mengikuti pembinaan kepala perpustakaan yang diselenggarakan
oleh sebuah lembaga yang mengusung misi menjamin mutu pendidikan di negeri ini.
Saat itu saya bersama seorang rekan guru diutus untuk mengikuti
pelatihan kepala perpustakaan dan kepala laboratorium di salah satu sekolah di
kota tempat saya mengajar. Pelatihan ditujukan untuk meningkatkan kompetensi
para kepala perpustakaan dan laboratorium, agar keberadaan perpustakaan dan
laboratorium sekolah dapat dioptimalkan untuk memberikan pelayanan bagi para
siswa. Hasil akhir yang hendak dicapai adalah dengan meningkatnya kualitas
layanan perpustakaan maka kualitas peserta didik sebagai customer juga semakin meningkat.
Pihak sekolah tempat saya mengajar menyambut baik kegiatan ini, karena
dianggap penting bagi perkembangan lembaga di masa mendatang. Pihak sekolah
bahkan menyanggupi biaya pendaftaran sebesar delapan ratus ribu rupiah per
peserta yang diminta oleh panitia sebagai biaya pendaftaran.
Pelatihan dilaksanakan selama lima hari dengan menghadirkan narasumber
dari salah satu lembaga pendidikan. Pelatihan dilakukan di dua tempat terpisah,
sesuai jenis pelatihan yang diikuti, tentang perpustakaan atau laboratorium. Saat
mengikuti pelatihan setidaknya ada tiga hal yang membuat saya sebagai peserta
merasa aneh, karena menurut saya bukanlah hal yang lumrah terjadi.
Pertama, ketika saya melakukan
registrasi dan membayar biaya pendaftaran, saya merasa aneh ketika mengetahui
bahwa guru-guru peserta pelatihan dari sekolah-sekolah lain ternyata membayar uang
pendaftaran dengan uang pribadi, sementara saya dan rekan saya dibayar oleh sekolah.
Dalam hati saya berpikir, luar biasa semangat bapak-ibu dewan guru yang hadir
pada hari ini, mereka rela mengeluarkan uang sebesar delapan ratus ribu rupiah
untuk bisa mendapat pengetahuan tentang tata cara mengelola perpustakaan dan
laboratorium.
Namun, pada akhirnya saya menyadari bahwa ternyata ada motif lain di
balik semangat bapak-ibu guru yang berani membayar mahal untuk bisa mengikuti
pelatihan tersebut. Beberapa guru yang menjadi peserta bahkan dengan jujur
mengatakan bahwa mereka berani membayar mahal bukan semata-mata untuk mendapat
ilmu tentang pengelolaan perpustakaan dan laboratorium, tetapi yang jauh lebih
penting adalah setelah pelatihan mereka akan mendapat sertifikat sebagai kepala
perpustakaan pola pelatihan 180 jam.
Seperti yang kita tahu, bagi guru yang menjabat sebagai kepala
perpustakaan sekolah dan bersertifikat, kewajiban mengajarnya otomatis
berkurang 12 jam pelajaran dari kewajiban mengajar minimal 24 jam per minggu. Hal inilah yang dikejar oleh sebagian besar
guru peserta, karena dengan sertifikat tersebut, nantinya ketika kembali ke
sekolah dan menjabat sebagai kepala perpustakaan mereka tidak perlu pusing
dengan kewajiban mengajar 24 jam per minggu, karena jam wajib mengajar 12 jam
tentu lebih mudah dipenuhi dibandingkan 24 jam per minggu.
Kedua, sertifikat kepala
perpustakaan dan kepala laboratorium yang hanya dapat diberikan apabila calon
penerima sudah mendapat pelatihan 180 jam, ternyata bisa didapat hanya dengan
mengikuti pelatihan selama lima hari. Pola pelatihan semacam ini memang jamak
ditemukan pada bidang lain, salah satunya pelatihan kurikulum 2013. Pola ini
memangkas alokasi waktu pelatihan sesingkat-singkatnya, kemudian untuk mencapai
target yang diharapkan peserta diberi tugas sebanyak-banyaknya untuk dikumpulkan
pada waktu yang disepakati, yang dikenal dengan istilah OJL (On the Job Learning).
Efektifitas dari pola pelatihan semacam ini perlu dipertanyakan karena
terkesan lebih mengutamakan hasil daripada proses. Bagaimana bisa pelatihan
yang seharusnya diberikan minimal 18 hari dipangkas menjadi 5 hari?
Ketercapaian target pelatihan hanya diukur dari tugas-tugas yang terkumpul
dalam jangka waktu yang ditentukan. Tugas-tugas yang diberikan pun nyatanya hanya
sekadar formalitas, pada saat menyampaikan materi narasumber memberikan contoh
laporan yang sudah ada, peserta diminta mengkopi lalu kemudian menerapkan
prinsip ATM (Ambil, Tiru, dan Modifikasi).
Ketiga, pada saat mengikuti
pelatihan khususnya pada bidang
pelatihan yang saya ikuti - pelatihan kepala perpustakaan - ada fakta
menarik yang menyentil naluri saya sebagai seorang guru, bahwa hampir setiap
narasumber yang memberikan materi menawarkan jasa pembuatan karya tulis bagi
guru-guru yang akan naik pangkat. Tawaran diberikan secara blak-blakan lengkap
dengan tarif yang harus dibayar oleh peserta.
Sebuah fakta yang meurut saya aneh, tetapi sepertinya dianggap
biasa oleh peserta yang lain. Bahkan setiap tawaran yang diberikan ditanggapi
dengan serius dengan meminta nomor telepon seluler narasumber yang menawarkan
jasa, karena banyaknya tawaran para peserta tinggal membandingkan tarif yang
harus dibayar dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh masing-masing
narasumber.
Kembali pada tesis tulisan ini bahwa pengalaman yang dialami penulis merupakan
salah satu dampak negatif yang sudah diprediksi sejak Permen Nomor 16 Tahun
2009 diberlakukan. Guru-guru di daerah yang mengalami kesulitan ketika harus
diminta membuat karya tulis sebagai syarat kenaikan pangkat, akhirnya menjadi
target empuk oknum-oknum yang ingin mendapatkan keuntungan dari kesulitan yang
dialami para guru.
Para guru lagi-lagi terjebak dalam sistem yang membuka ruang terjadinya
praktik-praktik ketidakjujuran. Memang untuk sekadar membayar jasa pembuatan
karya tulis untuk naik pangkat, bukanlah hal memberatkan bagi para guru seiring
dengan kesejahteraan yang semakin meningkat. Membayar tarif enam sampai sembilan
juta untuk bisa menghasilkan sebuah karya tulis bukanlah hal yang menyulitkan.
Namun, sudah jelas bahwa praktik-praktik semacam ini tidak dapat dibenarkan,
terlebih yang menawarkan jasa adalah oknum-oknum dari lembaga pendidikan yang
terhormat, yang misi utamanya adalah mengawasi dan menjamin mutu pendidikan di
negeri ini.
Siapa saja yang berprofesi sebagai guru patut prihatin atas situasi
ini, di satu sisi kementerian pendidikan dan kebudayaan tengah gencar mengampanyekan
reformasi di bidangkan pendidikan, terutama karakter jujur. Namun, di sisi yang
lain lembaga-lembaga di bawahnya, justru membuka ruang untuk berkembangnya
bibit-bibit perilaku yang tidak jujur.
Dari pengalaman tersebut, agaknya lembaga-lembaga yang berkecimpung di
bidang pendidikan perlu memerhatikan hal tersebut. Jangan mengajarkan guru-guru
untuk terbiasa mempraktikkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai
kejujuran, karena kejujuran adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa
ini. Para guru harus ingat bahwa setiap kali menjelang ujian nasional kita
gencar mengingatkan kepada siswa-siswi untuk bersikap jujur dan sportif saat
mengerjakan soal-soal. Sudah saatnya guru menjadi teladan, jangan hanya bicara
tetapi juga harus bisa mempraktikkan. Kita menghargai - meskipun tidak bisa
dibenarkan juga - rekan-rekan guru yang lebih memilih pasrah tidak naik pangkat
daripada harus membayar jasa para oknum pembuat karya tulis. (WELLYSERAN)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya merasa bingung untuk berkomentar.Yang pasti kita semua sepakat bahaw yang kita inginkan adalah Jujur..apalagi jujur kacang ijo ataupun jujur ayam.. pasti enak apalagi d tambah dengan kerupuk.
BalasHapusMenyedihkan, tapi kayaknya dah jadi budaya di kampung kita ini,
BalasHapus