KETELADANAN GURU YANG SELALU DIINGAT

Suatu ketika, saya mendapat kesempatan berbincang dengan salah seorang alumni sekolah tempat saya mengajar. Beliau lulusan tahun 1987 dan saat ini sedang meniti karier di Swedia sebagai seorang fotografer wanita. Rasanya sungguh menyenangkan mendapat kesempatan berbincang dengan alumni yang mampu bersaing sampai ke tingkat internasional. Meski perbincangan hanya bisa dilakukan secara daring, tetapi tetap saja tidak mengurangi rasa bangga saya terhadap sosok ini.
Sosok inspiratif yang saya maksud adalah Alex Tjoa, nama lengkapnya Alexandra So Tin Tjoa. Ia seorang fotografer wanita yang cukup diperhitungkan di kancah internasional. Saya mengenal beliau dari Majalah Digital Camera Indonesia, Edisi 65, Januari 2015. Saya tidak membeli majalah tersebut, karena saya bukan termasuk penggila fotografi - saya senang mengambil gambar tetapi hanya sekadar memenuhi kepentingan jurnalistik saat saya menulis berita. Saya mendapatkan majalah tersebut dari kepala sekolah. Beliau pun tenyata tidak membelinya, majalah tersebut dikirim oleh Alex Tjoa untuk perpustakaan sekolah, karena pada halaman 48 sampai 53 majalah tersebut, khusus berbicara tentang dirinya dan sebagian kecil karyanya.
Setelah melihat beberapa karya dan membaca artikel yang khusus mengupas tentang beliau, saya pun mencoba menelusuri alamat email, facebook, atau twitter yang dapat menghubungkan saya dengan sosok Alex Tjoa. Tentu tidaklah sulit untuk menelusuri alamatnya di dunia maya, karena ia merupakan sosok yang dikenal banyak orang, khususnya dari kalangan fotografer. Di dalam majalah yang saya baca juga termuat alamat website pribadi beliau.
Tanpa pikir panjang, karena terdorong oleh rasa penasaran, saya pun langsung mengirimkan surel kepada Alex Tjoa. Gayung bersambut, di luar dugaan saya, Alex Tjoa ternyata merespon dengan cepat. Beliau ternyata orang yang sangat terbuka dan mau berbagi informasi tentang apa saja, asalkan bermanfaat dan dapat menginspirasi semua orang. Pengetahuannya luas, tidak hanya terbatas pada dunia fotografi yang digelutinya. Saat dimintai pendapat tentang perbandingan kualitas pendidikan di Indonesia dengan negara lain, khususnya Amerika Serikat tempatnya pernah menuntut ilmu, beliau dapat menyampaikan opininya dengan fasih.
Dari sekian banyak pengalaman yang diceritakan, termasuk pengalaman berkunjung ke 40 negara dan pernah tinggal di 8 negara berbeda, satu hal yang menarik perhatian saya adalah ingatan beliau terhadap sosok guru Bahasa inggris semasa beliau duduk di bangku SMA dulu. Saya katakan menarik, karena ternyata pendidikan dan pendampingan penuh kasih yang diberikan sang guru kepada murid tak lekang oleh waktu dan akan selalu dikenang.
Seperti ingatan Alex Tjoa terhadap keteladanan sosok Ibu Rini Wulandari. Ia menuturkan bahwa sang guru merupakan sosok yang istimewa dan sangat berjasa bagi perkembangannya sebagai seorang murid. Saat melaksanakan tugas mengajar, beliau tidak semata-mata mentransfer ilmu tetapi juga mampu menampilkan diri sebagai teman dan motivator bagi siswa yang ia dampingi.
Tidak hanya itu, di mata Alex, Ibu Rini juga merupakan sosok yang tegas dan berkarisma. Ketika megangajar Ibu Rini mampu menguasai kelas dengan baik. Saat ia sedang serius menjelaskan suasana kelas bisa menjadi sangat tenang, karena seluruh siswa-siswi memerhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan oleh sang guru. Sebaliknya, saat siswa-siswi mulai terlihat jenuh ia bisa menghidupkan suasana kelas dengan aneka permainan dan humor-humor menggelitik. Suasana seperti itu sangat membantu Alex dan kawan-kawan untuk dapat belajar dengan maksimal.
Alex menambahkan bahwa pada masa itu, ketika ia duduk di bangku SMA, teman-teman sekelasnya banyak yang nakal dan sulit diatur, namun ketika Ibu Rini masuk kelas, siswa-siswi yang nakal seperti kehilangan taji. Bukan karena beliau guru killer dan sering memarahi siswa-siswi, tetapi lagi-lagi karena karisma dan kompetensi mengajar yang beliau miliki.
Terhadap siswa nakal, Ibu Rini tidak pernah marah atau menunjukkan ekspresi kesal yang berlebihan, apalagi sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak etis. Ia cukup berdiri diam sambil melihat ke arah siswa yang berulah dan siswa tersebut pun diam dengan sendirinya.
Saat mengajar, Ibu Rini tidak pernah mengeluarkan volume suara yang terlalu tinggi, suaranya lembut namun selalu diperhatikan oleh siswa. Beliau tampak sangat menikmati profesinya sebagai pendidik, mengajar tidak hanya dilakukannya di sekolah, di luar sekolah ia juga memerhatikan perkembangan para siswa. Hal inilah menurut Alex Tjoa yang menjadi salah satu daya tarik dari sosok guru yang satu ini.
Alex menuturkan bahwa ia cukup dekat dengan sosok Ibu Rini, selain karena pelajaran bahasa Inggris merupakan pelajaran yang ia senangi, faktor Ibu Rini juga sangat berpengaruh. Ia sering bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris dengan beliau. Selain itu, ia juga merasa sangat beruntung karena sering mendapat nasihat dan suntikan semangat dari sang guru.
Kisah Alex Tjoa dan Ibu Guru Rini Wulandari tersebut memberikan sebuah refeleksi yang mendalam bagi kita bahwa menjadi guru tidak cukup hanya sekadar mentransfer ilmu kepada murid. Lebih dari itu, guru juga harus bisa menampilkan diri sebagai contoh dari apa yang diajarkan. Guru yang baik tidak cukup hanya bermodalkan kompetensi pedagogik, tetapi juga harus bisa menjadi telaladan dalam hal sikap dan perilaku bagi siswa.
Jujur sebagai guru muda yang baru masuk dalam fase belajar menjadi guru, saya sering mengalami dilema, karena menjadi guru ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya – sekadar masuk kelas, mengajar, kemudian memberi evaluasi. Dalam perjalanan, saya kemudian menyadari bahwa, “Menjadi guru mudah ketika motivasi kita hanya sebatas mentransfer ilmu, tetapi sulit ketika kita juga dituntut menjadi teladan bagi siswa”.
Saya mengamini apa yang dikatakan oleh banyak guru senior yang mengatakan bahwa setelah lulus dari bangku sekolah yang diingat oleh siswa bukan apa yang kita ajarkan, tetapi lebih banyak tentang apa yang kita lakukan. Untuk itu, sebagai guru sudah semestinya kita memberikan sebanyak-banyaknya teladan yang positif kepada para siswa, karena kelak contoh-contoh positif yang kita tampilkan akan diikuti oleh para siswa.

Seperti kata Francois La Rochefoucauld (1613-1680), seorang pengarang klasik Prancis mengatakan bahwa, “Tidak ada yang lebih menular daripada teladan perbuatan baik, dan sebaliknya perbuatan buruk akan diikuti oleh perbuatan buruk pula”. Cuplikan kisah Alex Tjoa dan Ibu Guru Rini Wulandari tersebut rasanya cukup membuktikan bahwa nasihat yang disampaikan La Rochefoucauld ratusan tahun lalu, masih relevan hingga hari ini. (WELLYSERAN)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.