POLITIKUS MASUK SEKOLAH

Suasana GOR tempat penandatanganan pakta integritas dan
try out bersama dilaksanakan.
“Untuk menjadi tuan, politisi menampilkan diri seperti pelayan,” begitu kata Charles de Gaulle, Presiden Perancis ke-18 terkait perilaku para politisi yang dalam karier politiknya dekat dengan praktik pencitraan. Menjelang pemilihan, biasanya apapun dilakukan untuk bisa menarik simpati masyarakat. Mereka bahkan tidak ragu menobatkan diri sebagai tokoh pembawa perubahan yang kelak dapat mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat.


Dalam perkembangannya, praktik petcitraan tidak hanya terjadi di lingkup masyarakat pemilih dewasa, dalam arti masyarakat yang sudah berusia 17 tahun ke atas atau yang belum berusia 17 tahun namun sudah menikah. Pencitraan, nyatanya sudah merambah sampai ke ruang-ruang kelas. Umumnya yang menjadi sasaran adalah para siswa SMA.

Siswa SMA dijadikan target, karena berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum RI Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengawasan Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah, siswa-siswi SMA, khususnya yang duduk di bangku kelas XI dan XII termasuk dalam daftar pemilih pemula, karena sebagian sudah berusia 17 tahun.

Gaya politisi dalam melakukan pendekatan terhadap para siswa pun beragam. Yang jamak saya saksikan adalah (1) melakukan kunjungan ketika para siswa sedang mengikuti ujian nasional dan (2) memanfaatkan momen pembagian dana bantuan pendidikan sebagai sarana kampanye terselubung.

Terkait modus yang pertama, pada pelaksanaan UN April 2016 lalu, saya sedikit tergelitik ketika membaca sebuah berita di salah satu media lokal berbasis daring berjudul “Stop Pencitraan, Jangan Ganggu Siswa Ujian Nasional.”  Berita tersebut melaporkan tentang keluh-kesah sekelompok pelajar peserta UN yang tidak menginginkan kehadiran para pejabat tingkat kabupaten/kota hadir di sekolah ketika UN sedang berlangsung.

Alasan yang dikemukakan para siswa sederhana. Mereka  akan merasa terganggu apabila ada pejabat berkunjung saat UN sedang berlangsung. Apalagi dari pengalaman yang sudah-sudah, mereka tidak sekadar berkunjung, tetapi juga masuk ke beberapa kelas untuk memberi penguatan bagi para siswa yang sedang mengerjakan soal UN.

Barangkali para siswa mulai sadar bahwa perhatian yang diberikan para politikus tidak lebih dari sekadar bentuk pencitraan yang pada akhirnya hanya akan menguntungkan yang bersangkutan.

Terkait kemungkinan praktik pencitraan tersebut, penulis sedikit kilas balik ke belakang sebelum UN 2016 dilaksanakan. Di sebuah kabupaten/kota, pada momen penandantanganan Pakta Integetitas oleh seluruh kepala sekolah, yang kemudian diikuti dengan pelaksanaan try out bersama bagi siswa peserta UN, seluruh kepala sekolah dan siswa dikumpulkan secara masal di gedung olahraga setempat.

Para kepala sekolah dikumpulkan untuk menandatangni Pakta Integritas tentang komitmen menyelenggaraan UN jujur dan berintegritas. Sementara para siswa dikumpulkan untuk menjadi saksi pendatanganan Pakta Integritas dan setelah itu mengikuti try out bersama yang dilaksanakan secara masal setelah penandatanganan Pakta Integritas di tempat yang sama.

Pada momen ini nuansa politis sangat terasa, karena saat penandatanganan Pakta Integritas dilaksanakan, beberapa pejabat dan politisi turut hadir. Mereka bahkan berkesempatan memberikan sambutan dalam acara tersebut. Uniknya lagi, panitia penyelenggara juga menghadirkan acara hiburan berupa orgen tunggal. Beberapa politikus pun diberi kesempatan menyumbangkan lagu andalannya untuk menghibur para guru dan siswa yang akan mengikuti try out.

Setelah penandatanganan Pakta Integritas selesai (masih dalam kondisi yang berhimpit-himpitan dan panas) para siswa kemudian diminta mengerjakan soal-soal try out. Tidak ada kursi apalagi meja, para siswa mengerjakan soal dalam kondisi yang sangat tidak kondusif.

Kalau saja panitia penyelenggara serius menyelenggarakan kegiatan try out bersama untuk kepentingan para siswa, alangkah lebih bijak kalau kegiatan tersebut dilaksanakan di sekolah masing-masing, karena situasinya tentu akan jauh lebih kondusif dan para siswa bisa mengerjakan soal-soal dengan lebih maksimal.

Penandatanganan Pakta Integritas yang baru saja dilakukan kontradiktif dengan apa yang dilakukan. Pada saat bersamaan panitia penyelenggara seakan memberi ruang kepada para siswa untuk berlaku tidak jujur. Bisa dibayangkan bagaimana para guru pengawas try out menjamin bahwa para siswa akan mengerjakan soal-soal dengan jujur dalam kondisi yang berdesak-desakan  dan tidak kondusif seperti yang terjadi kala itu.

Berikutnya, berkait pembagian beasiswa bagi para pelajar terpilih yang diberi nama Program Indonesia Pintar (PIP). Beasiswa yang memang menjadi hak bagi para pelajar ini juga tidak luput dari pantauan para politikus untuk melakukan kampanye terselubung. Modus yang digunakan sama seperti penyelenggaraan try out bersama, semua siswa penerima beasiswa diwajibkan hadir secara masal di gedung olahraga setempat sebagai syarat pencairan beasiswa.

Nuansa politis terasa ketika para siswa juga diminta menghadirkan orangtua dalam acara tersebut. Padahal, tanpa kehadiran orangtua pun sebenarnya uang beasiswa tetap bisa dicairkan. Terbukti, beberapa siswa yang nekat hadir tanpa didampingi orangtua, tetap bisa mendapatkan uang beasiswa. Mengundang orangtua siswa untuk mengikuti acara ceremonial pembagian beasiswa PIP tidak lebih dari sekadar modus dari pihak-pihak tertentu, untuk melakukan kampanye terselubung.

Para siswa yang hadir ternyata juga tidak semata-mata mendapatkan uang, mereka juga diberi piagam dari salah satu politikus (bukan Kemendikbud atau Dinas Pendidikan setempat). Dalam piagam penghargaan yang diberikan kepada para siswa terpampang jelas foto politikus bersangkutan lengkap dengan logo partai yang mengusungnya.

Dari peristiwa yang telah dikemukakan di atas, setidaknya ada dua pelajaran yang dapat kita petik, baik sebagai guru, siswa, maupun masyarakat pada umumnya. Pertama, bahwa tidak ada tatanan birokrasi di negeri ini yang tidak bisa dirasuki oleh kepentingan politisi, termasuk di lembaga pendidikan. Kedua, bahwa ternyata kian hari kian sulit bagi kita untuk menemukan politikus yang betul-betul memiliki jiwa seorang negarawan. Ketika menduduki kursi panas kekuasaan, hanya sedikit dari mereka yang betul-betul menjalankan tanggung jawab utamanya mengurus negara. Kebanyakan hanya duduk dan memikikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan memenangkan pemilu berikutnya. (WELLYSERAN)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.