Suasana GOR tempat penandatanganan pakta integritas dan try out bersama dilaksanakan. |
Dalam perkembangannya, praktik petcitraan tidak hanya terjadi
di lingkup masyarakat pemilih dewasa, dalam arti masyarakat yang sudah berusia
17 tahun ke atas atau yang belum berusia 17 tahun namun sudah menikah. Pencitraan, nyatanya sudah merambah sampai ke ruang-ruang kelas. Umumnya yang menjadi sasaran adalah para siswa SMA.
Siswa SMA dijadikan target, karena berdasarkan Peraturan
Badan Pengawas Pemilihan Umum RI Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengawasan Pemutakhiran
Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah, siswa-siswi SMA,
khususnya yang duduk di bangku kelas XI dan XII termasuk dalam daftar pemilih
pemula, karena sebagian sudah berusia 17 tahun.
Gaya politisi dalam melakukan pendekatan terhadap para siswa pun
beragam. Yang jamak saya saksikan adalah (1) melakukan kunjungan ketika para
siswa sedang mengikuti ujian nasional dan (2) memanfaatkan momen pembagian dana
bantuan pendidikan sebagai sarana kampanye terselubung.
Terkait modus yang pertama, pada pelaksanaan UN April 2016
lalu, saya sedikit tergelitik ketika membaca sebuah berita di salah satu
media lokal berbasis daring berjudul “Stop
Pencitraan, Jangan Ganggu Siswa Ujian Nasional.” Berita tersebut melaporkan tentang
keluh-kesah sekelompok pelajar peserta UN yang tidak menginginkan kehadiran
para pejabat tingkat kabupaten/kota hadir di sekolah ketika UN sedang berlangsung.
Alasan yang dikemukakan para siswa sederhana. Mereka akan merasa terganggu apabila ada pejabat berkunjung saat UN sedang berlangsung. Apalagi dari pengalaman yang sudah-sudah,
mereka tidak sekadar berkunjung, tetapi juga masuk ke beberapa kelas untuk
memberi penguatan bagi para siswa yang sedang mengerjakan soal UN.
Barangkali para siswa mulai sadar bahwa perhatian yang
diberikan para politikus tidak lebih dari sekadar bentuk pencitraan yang pada akhirnya hanya akan
menguntungkan yang bersangkutan.
Terkait kemungkinan praktik pencitraan tersebut, penulis sedikit kilas balik ke belakang sebelum UN 2016
dilaksanakan. Di sebuah kabupaten/kota, pada momen
penandantanganan Pakta Integetitas oleh seluruh kepala sekolah, yang kemudian
diikuti dengan pelaksanaan try out bersama bagi siswa peserta UN, seluruh kepala
sekolah dan siswa dikumpulkan secara masal di gedung olahraga
setempat.
Para kepala sekolah dikumpulkan untuk menandatangni Pakta
Integritas tentang komitmen menyelenggaraan UN jujur dan berintegritas.
Sementara para siswa dikumpulkan untuk menjadi saksi pendatanganan Pakta
Integritas dan setelah itu mengikuti try
out bersama yang dilaksanakan secara masal setelah penandatanganan Pakta Integritas di
tempat yang sama.
Pada momen ini nuansa politis sangat terasa, karena saat penandatanganan
Pakta Integritas dilaksanakan, beberapa pejabat dan politisi turut hadir. Mereka
bahkan berkesempatan memberikan sambutan dalam acara tersebut. Uniknya lagi, panitia
penyelenggara juga menghadirkan acara hiburan berupa orgen tunggal. Beberapa politikus pun diberi kesempatan menyumbangkan lagu
andalannya untuk menghibur para guru dan siswa yang akan mengikuti try out.
Setelah penandatanganan Pakta Integritas selesai (masih dalam
kondisi yang berhimpit-himpitan dan panas) para siswa kemudian diminta mengerjakan
soal-soal try out. Tidak ada kursi apalagi meja, para siswa mengerjakan soal dalam
kondisi yang sangat tidak kondusif.
Kalau saja panitia penyelenggara serius menyelenggarakan
kegiatan try out bersama untuk kepentingan para siswa, alangkah lebih bijak
kalau kegiatan tersebut dilaksanakan di sekolah masing-masing, karena
situasinya tentu akan jauh lebih kondusif dan para siswa bisa mengerjakan
soal-soal dengan lebih maksimal.
Penandatanganan Pakta Integritas yang baru saja dilakukan kontradiktif dengan apa yang dilakukan. Pada saat
bersamaan panitia penyelenggara seakan memberi ruang kepada para siswa untuk
berlaku tidak jujur. Bisa dibayangkan bagaimana para guru pengawas try out
menjamin bahwa para siswa akan mengerjakan soal-soal dengan jujur dalam kondisi
yang berdesak-desakan dan tidak kondusif
seperti yang terjadi kala itu.
Berikutnya, berkait
pembagian beasiswa bagi para pelajar terpilih yang diberi nama Program Indonesia
Pintar (PIP). Beasiswa yang memang menjadi hak bagi para pelajar ini juga tidak
luput dari pantauan para politikus untuk melakukan kampanye terselubung. Modus
yang digunakan sama seperti penyelenggaraan try out bersama, semua siswa
penerima beasiswa diwajibkan hadir secara masal di gedung olahraga setempat sebagai
syarat pencairan beasiswa.
Nuansa politis terasa ketika para siswa juga diminta
menghadirkan orangtua dalam acara tersebut. Padahal, tanpa kehadiran orangtua
pun sebenarnya uang beasiswa tetap bisa dicairkan. Terbukti, beberapa siswa
yang nekat hadir tanpa didampingi orangtua, tetap bisa mendapatkan uang beasiswa.
Mengundang orangtua siswa untuk mengikuti acara ceremonial pembagian beasiswa PIP tidak lebih dari sekadar modus
dari pihak-pihak tertentu, untuk melakukan kampanye terselubung.
Para siswa yang hadir ternyata juga tidak semata-mata
mendapatkan uang, mereka juga diberi piagam dari salah satu
politikus (bukan Kemendikbud atau Dinas Pendidikan setempat). Dalam piagam
penghargaan yang diberikan kepada para siswa terpampang jelas foto politikus bersangkutan lengkap
dengan logo partai yang mengusungnya.
Dari peristiwa yang telah dikemukakan di atas, setidaknya ada
dua pelajaran yang dapat kita petik, baik sebagai guru, siswa, maupun masyarakat
pada umumnya. Pertama, bahwa tidak ada
tatanan birokrasi di negeri ini yang tidak bisa dirasuki oleh kepentingan
politisi, termasuk di lembaga pendidikan. Kedua,
bahwa ternyata kian hari kian sulit bagi kita untuk menemukan politikus yang betul-betul
memiliki jiwa seorang negarawan. Ketika menduduki kursi panas kekuasaan, hanya sedikit
dari mereka yang betul-betul menjalankan tanggung jawab utamanya mengurus
negara. Kebanyakan hanya duduk dan memikikirkan bagaimana mempertahankan
kekuasaan dengan memenangkan pemilu berikutnya. (WELLYSERAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar