Selalu
menyenangkan ketika mendapat kesempatan berbincang dengan orang-orang yang
memiliki prestasi luar biasa. Apalagi, jika prestasi yang dicapai bertaraf
internasional, ini tentu dapat melecut semangat kita untuk bisa menjadi seperti
mereka. Hal ini juga yang saya rasakan ketika mendapat kesempatan berbincang
dengan salah satu Alumni SMA Santo Yosef Lahat yang sukses meniti karir internasional
di bidang fotografi. Meski perbincangan hanya bisa dilakukan melalui surat
elektronik, tetapi tetap saja tidak mengurangi rasa bangga saya terhadap sosok
yang satu ini.
Sosok inspiratif yang saya maksud adalah Alex Tjoa, nama lengkapnya
Alexandra So Tin Tjoa. Ia seorang fotografer wanita yang cukup diperhitungkan
di kancah internasional. Saya mengenal beliau dari Majalah Digital Camera
Indonesia, Edisi 65, Januari 2015. Saya tidak membeli majalah tersebut, karena
saya bukan termasuk penggila fotografi - saya senang mengambil gambar tetapi
hanya sekadar memenuhi kepentingan jurnalistik, saat saya menulis berita. Saya
mendapatkan majalah tersebut dari kepala SMA Santo Yosef, Bapak Ignatius Sukino.
Beliau pun tidak membeli, majalah tersebut adalah kiriman dari Alex Tjoa,
karena pada halaman 48 sampai 53 majalah tersebut, khusus berbicara tentang
dirinya dan sebagian kecil karyanya.
Setelah melihat beberapa karya dan membaca artikel yang khusus mengupas
tentang beliau, saya pun mencoba menelusuri alamat email, facebook, atau
twitter yang dapat menghubungkan saya dengan sosok Alex Tjoa. Tentu tidaklah
sulit untuk menelusuri alamat Alex Tjoa di dunia maya, karena ia merupakan
sosok yang dikenal banyak orang, khususnya dari kalangan fotografer. Di dalam
majalah yang saya baca juga termuat alamat website
pribadinya. Saya membuka website tersebut
(www.alextjoa.com)
dan di situ saya mendapatkan alamat email Alex Tjoa.
Tanpa pikir panjang, karena terdorong oleh dahaga akan informasi tentang
latar belakang beliau, saya pun langsung mengirim email kepada Alex Tjoa. Gayung
bersambut, di luar dugaan saya, Alex Tjoa ternyata merespon dengan cepat. Salut
untuk Alex Tjoa, karena di tengah kesibukannya sebagai fotografer
internasional, ia mau meluangkan waktu untuk menjawab email dari saya. Beliau
ternyata juga orang yang sangat terbuka dan mau berbagi informasi tentang apa
saja, asalkan bermanfaat dan dapat menginspirasi semua orang. Pengetahuannya luas,
tidak hanya terbatas pada dunia fotografi yang digelutinya, saat dimintai
pendapat tentang perbandingan kualitas pendidikan di Indonesia dengan negara
lain, khususnya Amerika Serikat tempatnya pernah menuntut ilmu, beliau dapat
memberikan penjelasan dengan fasih.
Mengenal Alex Tjoa
Alex Tjoa dilahirkan di Kota Palembang empat puluh enam tahun lalu,
tepatnya pada tanggal 20 Agustus 1969. Ia merupakan anak pertama dari empat
bersaudara, “Saya adalah anak pertama dan perempuan satu-satunya dari empat
bersaudara,” katanya.
Buah cinta dari pasangan Bapak Budiman dan Ibu Lena ini menuturkan bahwa masa
kecilnya di Kota Palembang sangat sederhana. Kegiatannya hanya berkisar antara
rumah dan sekolah, “Jembatan Ampera itu rasanya tempat yang jauh sekali di mata
saya waktu kecil,” katanya. Hal itu pula menyebabkan ia tidak pernah tahu kalau
dari Jembatan Ampera masyarakat Kota Palembang dapat menikmati sunset yang begitu indah.
Ia menuturkan kegiatan yang sering ia lakukan sewaktu kecil hanyalah
bersepeda. Bahkan sampai sekarang ia masih rutin melakukan hobinya tersebut.
“Bersepeda merupakan kegiatan yang masih saya lakukan sampai sekarang. Saya
bersepeda sepanjang tahun, bahkan sewaktu musim dingin dengan badai salju dan
kondisi jalan yang ditutupi es licin sekalipun,” katanya.
Ada kisah menarik di balik nama Alex Tjoa yang disandangnya sekarang. Sebenarnya
ia memiliki nama Indonesia Titin Cahyadi. Namun, ketika mengurus paspor, karena
ia mendapat beasiswa untuk kuliah di Amerika Serikat, ia tidak diperkenankan
menggunakan nama Indonesia. Oleh karena itu, nama Chinese, Alexandra So Tin
Tjoa yang ia gunakan sampai sekarang.
Alex menjelaskan bahwa selain bersepeda, masa kecilnya juga diisi dengan
kegiatan menggambar. Ketertarikannya terhadap seni menggambar ditularkan dari
sang ayah yang juga memiliki minat yang sama. Ketika ditanya apakah bakat
fotografinya diturunkan dari sang ayah, ia menjawab tidak. Namun, ia juga mengakui
bahwa kegemaran sang ayah terhadap seni menggambar sedikit-banyak memengaruhi
minatnya terhadap fotografi.
Kegemarannya menggambar membuatnya sering mendapat teguran dari guru di
sekolah. Hal ini disebabkan kebiasaannya mencuri jam pelajaran untuk menggambar
hal-hal yang terlintas seketika dipikirannya. Bagi Alex, fotografi dan
menggambar merupakan dua hal yang sama, yang membedakan hanya media dan alat yang
digunakan.
Lama berkarya di Swedia dan berbagai negara (di lansir dari Majalah
Digital Camera Indonesia, Alex Tjoa Pernah berkunjung ke 40 negara dan pernah
tinggal di 8 negara berbeda) Alex Tjoa tetaplah anak Indonesia yang memiliki
kerinduan terhadap kampung halaman tempat ia pernah dibesarkan. Sebagai bentuk
kecintaannya terhadap tanah kelahirannya, ia aktif mempromosikan pempek sebagai
makanan khas asal Palembang ke luar negeri. Hal ini sesuai dengan salah satu bidang
yang ia geluti, yaitu fotografi kuliner.
Riwayat Pendidikan Alex Tjoa
Alex Tjoa memang lebih dikenal di luar negeri, namun demikian ia tumbuh
dan besar di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Pendidikan Sekolah Dasar ia
selesaikan di SD Xaverius VI Palembang, meski sebelumnya pernah mengenyam
pendidikan di SD Sint. Carolus Bengkulu. “Kelas satu SD pernah saya habiskan di
SD Sint. Carolus Bengkulu, kemudian pindah ke SD Xaverius VI Palembang,” katanya.
Setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar, Alex Tjoa melanjutkan SMP di
tempat yang sama, yaitu SMP Xaverius I Putri, Palembang.
Ketika akan melanjutkan SMA, Alex Tjoa sebenarnya sudah diterima di SMA
Xaverius I Bangau, salah satu SMA favorit di Kota Palembang, Namun, ia lebih
memilih melanjutkan pendidikan di SMA Santo Yosef Lahat, karena tertarik dengan
kualitas yang ditawarkan dan ingin merasakan bagaimana rasanya hidup di asrama.
Ia masuk SMA Santo Yosef pada tahun 1984 dan lulus pada tahun 1987. Di SMA
Santo Yosef ia dikenal dengan nama Indonesia, Titin Cahyadi.
Setelah lulus dari SMA Santo Yosef, ia melanjutkan pendidikan S1 teknik
arsitektur di ITENAS, Bandung. Dengan beasiswa, Alex kemudian meneruskan
sekolahnya di Principia, sebuah liberal
arts college di Elsah, Illinois di Amerika Serikat. Setalah menyelesaikan
kuliah di Principia, ia kemudian mengambil gelar S2 di bidang Industrial
Logistics di Molde University College, Norwegia.
SMA Santo Yosef di mata Alex Tjoa
Keselarasan, semangat kekeluargaan, dan kerendahan hati merupakan tiga hal
utama yang paling diingat oleh Alex Tjoa dari SMA Santo Yosef. Ia merasa bangga
pernah menjadi bagian dari sekolah ini. Menurutnya, guru-guru yang mengajar di
SMA Santo Yosef pada masa itu sangat berkualitas, berdedikasi tinggi, dan layak
menjadi teladan bagi siswa-siswi.
“Saya sangat menghargai dedikasi dan kualitas guru-guru SMA Santo Yosef
sebagai pendidik teladan. Suasana sekolah yang penuh dengan keselarasan, rasa
kekeluargaan, dan kerendahan hati membuat saya bersyukur pernah menempuh
pendidikan di SMA ini,” katanya.
Setalah dua puluh delapan tahun berlalu, ia bahkan masih ingat nama
kepala sekolah, kepala asrama, dan guru favoritnya sewaktu SMA. “Sr. Floriana
CB adalah kepala sekolah saya, Sr. Simona Donderwinkel adalah kepala Asrama
Marget, dan Ibu Rini adalah guru bahasa Inggris favorit saya sewaktu SMA,”
kenangnya.
Banyak cerita dan pengalaman tidak terlupakan yang pernah ia jalani di SMA
Santo Yosef dan Asrama Marget. Namun, yang paling berkesan dan membekas sampai
saat ini adalah perhatian tulus dari dewan guru terhadap perkembangan belajar
siswa-siswi. Kondisi sekolah yang bersih, hijau, harmonis, dan rasa persaudaraan
yang begitu besar menjadi bagian lain yang tidak mungkin dilupakan oleh Alex Tjowa. Ia menegaskan bahwa di SMA Santo
Yoseflah ia menemukan pendidikan sejati yang tidak hanya mengedepankan
kemampuan akademik, tetapi juga karakter peserta didik.
Mengenang masa-masa SMA, Alex berbagi sedikit cerita tentang
pengalamannya membuat mading kelas. “Sewaktu saya baru masuk kelas I SMA Santo
Yosef, saya menawarkan diri untuk membantu membuat mading kelas saya, karena
saya merasa inilah satu-satunya keahlian yang dapat saya sumbangkan bagi kelas
saya. Saya kan tidak pintar olahraga. Main volley tidak bisa. Bola datang, saya
lari. Nyanyi tidak bisa. Bisanya cuma gambar. Jadi kertas mading saya gambar
dengan pemandangan bukit hijau, rumah, dan bunga-bunga. Ternyata hasil design
saya disukai. Alhasil, mading anak kelas 1 juara terus. Ini kemudian
menimbulkan protes dan rasa iri dari kakak kelas III, ha...ha...ha...Masak new kid on the block terus ngalahin para
senior,” begitu kisahnya.
Selama menimba ilmu di SMA Santo Yosef, Alex Tjoa tinggal di Asrama
Marget. Mulanya, banyak teman-temannya yang menakut-nakuti, mereka mengatakan bahwa
hidup di asrama itu tidak enak. Namun, ia mantap dengan pilihannya, ia tidak mempedulikan
kata-kata orang yang menganggap tinggal di asrama itu sama seperti di penjara.
Pilihannya terbukti tepat, setelah masuk dan tinggal di Asrama Marget, ia
merasa sangat nyaman dan senang dengan semangat persaudaraan yang terjalin di
sana. “Tinggal di Asrama Marget sangat menyenangkan, seru, dan persaudaraan
anak-anak Marget sangatlah erat, benar-benar indah,” katanya. Alex menambahkan
bahwa di Asrama Margetlah ia mengenal istilah jam belajar, “Saya belajar
disiplin, mandiri, dan bertanggungjawab di Asrama Marget, saya sangat bersyukur
atas pelajaran tersebut,” katanya. Setelah tinggal Asrama Marget ia mulai
mengukir prestasi yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan olehnya, mulai dari
kelas X sampai kelas XII Alex Tjoa selalu meraih juara pertama.
Di akhir perbincangan, Alex Tjoa menceritakan sedikit tentang
kesibukannya. Saat ini, ia tengah disibukkan dengan proyek food photography untuk sebuah buku tentang wedang Indonesia. Selain
itu, kesibukannya yang lain adalah traveling,
belajar tentang sustainability, zero waste, dan
foodscaping ‘menanam tanaman sendiri demi kemandirian pangan’. Tak lupa, ia
menitipkan salam bagi seluruh dewan guru, siswa-siswi SMA Santo Yosef, serta
siapa saja yang mengenal dirinya di Indoensia, “Salam hangat dari Pulau Goland,
di Laut Baltik, Swedia,” katanya
mengakhiri. (WL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar