Tidak ada jembatan penyeberangan, warga gunakan getek 'kapal motor' untuk menyeberangkan kendaraan |
E-Sabak
merupakan salah satu program yang akan digulirkan oleh Kemendikbud untuk
mengganti peran buku cetak dengan buku elektronik. E-Sabak diproyeksikan
sebagai solusi untuk mengatasi masalah ketimpangan kualitas pendidikan di
daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) dengan wilayah-wilayah yang berada
di Pusat Pemerintahan. Melalui e-sabak, Kemendikbud berharap masalah penyediaan
dan distribusi buku yang selama ini kerap menimbulkan masalah dan memakan biaya
besar, dapat diminimalisasi, karena dengan e-sabak pemerintah tidak perlu lagi
mencetak buku. Buku-buku pelajaran akan dikonversi ke dalam bentuk file atau
perangkat lunak yang nantinya disebar ke sekolah-sekolah secara online.
E-Sabak
sebenarnya bukan program baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebelumnya kita
mengenal BSE (Buku Sekolah Elekronik). E-sabak dapat dikatakan sebagai penyempurnaan
dari BSE. Perbedaannya adalah pada Program e-sabak, tablet menjadi
sarana utama proses pembelajaran yang akan menggantikan fungsi buku cetak.
Dengan e-sabak Kemendikbud
mengadopsi kemajuan Teknologi Informasi ke dalam dunia pendidikan. Harapannya,
pengadopsian ini dapat mengurai permasalahan yang dianggap paling krusial dalam
dunia pendidikan, yaitu kesenjangan kualitas antara sekolah-sekolah
yang berada di wilayah 3T dengan sekolah-sekolah yang berada di pusat. Berbagai masalah seperti kualitas kertas, proses
distribusi, dan kerumitan lainnya seputar logistik dapat teratasi, karena dengan
e-sabak kualitas isi buku antara sekolah-sekolah yang berada di daerah dan
di pusat sama.
Rencana
Kemendikbud terbilang brilian dan menjanjikan. Namun
demikian, program penggantian buku cetak dengan buku elektronik bukan perkara
mudah dan tentu saja membutuhkan biaya yang luar biasa besar. Tablet butuh listrik, untuk
memasukkan listrik ke wilayah 3T dibutuhkan jalan dan jembatan agar PLN dan
Telkom dapat beroperasi. Tidak diragukan lagi bahwa infrastruktur akan menjadi
hambatan utama dalam merealisasikan e-sabak.
Tantangan Infrastruktur
Sulit mendapatkan signal telepon seluler, warga bangun menara setinggi 15 meter hanya untuk menelepon atau sms |
Fakta
menunjukkan bahwa ketersediaan dan kualitas infrastruktur yang berbeda jauh
antara pusat dan daerah menjadi masalah utama dalam upaya pemerataan kualitas
pendidikan di Indonesia. Gagalnya penerapan kurikulum 2013 juga salah satunya disebabkan
oleh keterbatasan infrastruktur. Untuk itu, penerapan e-sabak harus melalui
tahap persiapan yang matang, agar ketika diimplementasikan tidak hanya menjadi
produk yang matang secara konsep, namun tidak dalam penerapan di lapangan.
Pemerintah harus
betul-betul mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat menghambat penerapan e-sabak.
Apalagi, berdasarkan instruksi presiden, pembangunan pendidikan di Indonesia
harus dimulai dari daerah-daerah yang termasuk dalam kategori 3T, artinya
penerapan program e-sabak harus dimulai dari daerah terluar, terdepan, dan
tertinggal. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Kemendikbud, mengingat di
daerah-daerah tersebut infrastruktur sangat minim dan terbatas.
Konon kabarnya,
pemerintah akan merealisasikan e-sabak di wilayah yang berbatasan langsung
dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Papua Nugini, dan Timur Leste.
Realisasi e-sabak akan diutamakan di tiga propinsi, yaitu Kalimantan, NTT, dan
Papua yang berbatasan langsung dengan ketiga negara tersebut. Tiga provinsi ini dianggap sebagai etalase atau
wajah Indonesia di mata negara-negara tetangga, sehingga kualitas pendidikan
dan infrastruktur pendukungnya harus ditingkatkan. Semoga saja tidak ada muatan
politis dalam penerapan e-sabak di daerah perbatasan untuk menciptakan citra positif Indonesia di mata negara-negara tetangga.
Untuk mewujudkan
mimpi tersebut tentu tidaklah mudah, dari pengamatan penulis di lapangan,
khususnya di Wilayah Kalimantan, daerah-daerah yang termasuk kategori 3T sangat
sulit diakses. Fasilitas jalan yang layak, jembatan, listrik, apalagi jaringan
internet menjadi barang langka yang sangat mahal harganya di daerah-daerah
tersebut. Maka tidak heran jika masyarakat perbatasan lebih mengenal negera tetangga
daripada negara sendiri, karena dari negara tetangga mereka justru memeroleh
banyak kemudahan. Alasannya klasik, yaitu akses yang jauh lebih mudah.
Sebenarnya
sebaran daerah tetinggal di Kalimantan tidak hanya terbatas pada daerah-daerah
yang terletak jauh dari Ibu Kota Provinsi ataupun Kabupaten Kota. Saya
mengambil contoh di Provinsi Kalimantan Barat. Bulan April 2014 lalu saya
berkunjung ke provinsi ini, karena kebetulan saya merupakan salah satu putra
daerah Kalimantan Barat yang memilih bekerja di Sumatera Selatan. Di provinsi
ini saya melihat pembangunan di tingkat Kabupaten Kota sangat pesat dibandingkan
tujuh tahun lalu. Bebergai fasilitas yang dimiliki seperti gedung, jalan,
listrik, jembatan, dan jaringan internet menyamai Kota-Kota besar lainnya di
Indonesia. Bahkan, kalau saya boleh membandingkan Kabupaten Melawi sebagai
provinsi terluar di Kalimantan Barat, luas wilayah dan fasilitas yang dimiliki
jauh lebih lengkap dibandingkan Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan
tempat saya berdomisili sekarang.
Kondisi jalan yang belum diaspal ketika hujan |
Namun demikian,
jika Anda ingin melihat wajah Kalimantan yang sebenarnya, cobalah keluar dan
lihat beberapa desa yang ada di sekitar. Anda akan melihat betapa timpangnya
pembangunan di Kalimantan Barat. Seperti di Kabupaten Melawi, saya mengunjungi dua
desa, yaitu Desa Pelaik Keruap dan Natai Panjang. Waktu yang dibutuhkan untuk
menuju ke Desa Pelaik Keruap sekitar dua jam perjalanan, sedangkan Desa Natai
Panjang hanya membutuhkan satu setengah jam perjalanan. Waktu tempuh tersebut
masih bisa dipangkas empat puluh lima menit apabila jalan sudah diaspal atau
minimal diberi pasir dan batu, agar tetap bisa dilalui ketika hujan.
Di Desa Pelaik
Keruap, saya belum melihat banyak perubahan dibandingkan dengan kondisi tujuh
tahun lalu. Untuk menuju ke tempat ini kita masih harus melalui jalan tanah
yang hanya bisa dilalui kendaraan ketika
kondisi cuaca cerah, karena kalau kondisi hujan roda kendaraan tidak akan bisa
berputar karena lumpur. Untuk bisa mencapai desa ini kita juga harus
menyeberangi sungai dengan jembatan penyeberangan yang belum tersedia, sehingga
yang bisa menyeberang hanya kendaraan roda dua. Suasana malam di desa ini pun
masih gelap gulita, karena listrik PLN tak kunjung masuk. Bagi warga yang jenuh
dengan kondisi gelap gulita, mereka berinisiatif membeli diesel sendiri untuk
bisa menikmati listrik.
Masyarakat desa
tersebut juga sebagian besar belum mengenal yang namanya internet, jangankan
internet untuk mendapatkan signal telepon seluler saja sulit. Ada pemandangan
menarik yang saya saksikan terkait hal ini. Di desa tersebut signal telepon
seluler hanya bisa ditangkap dari daerah dataran tinggi. Dataran tinggi di
daerah tersebut terletak jauh di ujung desa, sehingga warga malas untuk pergi
jauh-jauh hanya sekedar untuk menelepon atau sms. Untuk mensiasatinya warga
berinisiatif membangun sebuah menara kayu dengan ketinggian lima belas meter.
Bagi warga yang ingin menelepon atau sms harus menaiki menara kayu tersebut.
Di desa kedua,
yaitu Desa Natai Panjang, permasalahan yang dialami juga sama, lagi-lagi masalah
jembatan, jalan, listrik, dan jaringan telepon seluler yang masih dianggap
sebagai barang langka. Padahal untuk menuju desa ini, kita hanya butuh waktu
satu setengah jam menggunakan kendaraan roda dua. Bahkan, apabila jalan sudah
diaspal waktu tempuh bisa lebih singkat..
Inilah gambaran
situasi lapangan yang ada di Provinsi Kalimantan Barat, apabila pemerintah
serius ingin menerapkan e-sabak mulai daerah terluar, terdepan, dan tertinggal.
Contoh kasus yang terjadi di Desa Pelaik Keruap dan Desa Natai Panjang ,
Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat tersebut baru termasuk dalam
kategori daerah tertinggal, kita belum berbicara mengenai kondisi yang terjadi
di daerah-daerah yang termasuk dalam kategori daerah terluar dan terdepan.
Pemikiran sederhana saya adalah kalau kondisi daerah-daerah yang dekat dengan
Ibu Kota Provinsi dan kota kabupaten saja kondisinya seperti ini – jalan,
jembatan, listrik, dan jaringan telepon masih menjadi barang mahal dan langka, lalu
bagaimana dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan, bukankah kondisinya
akan jauh lebih serius?
Mulai dari
sekarang pemerintah harus mulai mengkalkulasi biaya yang dibutuhkan untuk realisasi
e-sabak. Saya tidak meragukan program ini, tetapi menurut saya masalah pendidikan
di Indonesia bukan pada konsep melainkan infrastruktur. Apabila insfrastruktur
sama rata antara daerah 3T dengan daerah-daerah di pusat, maka kesenjangan
kualitas pendidikan dapat teratasi. Untuk apa konsep bagus, namun tidak bisa
diterapkan di seluruh pelosok negeri. Kita harus belajar dari penerapan
kurikulum 2013. Gagalnya penerapan kurikulum 2013 secara serentak di seluruh
Indonesia, salah satunya disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur.
Oleh,
Welly Hadi Nugroho Seran, S. Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar