POIN-POIN PENTING DALAM PERMENDIKBUDRISTEK No. 40 TAHUN 2021 TENTANG PENUGASAN GURU SEBAGAI KEPALA SEKOLAH

Kepala Sekolah adalah guru yang diberi tugas untuk memimpin pembelajaran dan mengelola satuan pendidikan yang meliputi taman kanak-kanak, taman kanak-kanak luar biasa, sekolah dasar, sekolah dasar luar biasa, sekolah menengah pertama, sekolah menengah pertama luar biasa, sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, sekolah menengah atas luar biasa, atau Sekolah Indonesia di Luar Negeri. 

Berdasarkan Permendiknas No. 44 Tahun 2006 Bantuan untuk Lembaga Pendidikan yang Diselenggarakan Masyarakat dan Lembaga Kemasyarakatan, lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat meliputi satuan pendidikan formal yaitu taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD)/sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah menengah pertama (SMP)/sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah menengah atas (SMA)/sekolah menengah atas luar biasa (SMALB), sekolah menengah kejuruan (SMK), universitas/institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi; dan satuan pendidikan nonformal yaitu lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, dan satuan pendidikan yang sejenis.


Persyaratan Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah pada Satuan Pendidikan yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah atau Masyarakat

Pasal 2 

  1. Guru yang diberikan penugasan sebagai Kepala Sekolah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dari perguruan tinggi dan program studi yang terakreditasi; (b) memiliki sertifikat pendidik; (c) memiliki Sertifikat Guru Penggerak; (d) memiliki pangkat paling rendah penata muda tingkat I, golongan ruang III/b bagi Guru yang berstatus sebagai PNS; (e) memiliki jenjang jabatan paling rendah Guru ahli pertama bagi Guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja; (f) memiliki hasil penilaian kinerja Guru dengan sebutan paling rendah Baik selama 2 (dua) tahun terakhir untuk setiap unsur  penilaian;  (g) memiliki pengalaman manajerial paling singkat 2 (dua) tahun di satuan pendidikan, organisasi pendidikan, dan/atau komunitas pendidikan; (h) sehat jasmani, rohani, dan bebas narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya berdasarkan surat keterangan dari rumah sakit pemerintah; (i) tidak pernah dikenai hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (j) tidak sedang menjadi tersangka, terdakwa, atau tidak pernah menjadi terpidana; dan (k) berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun pada saat diberi penugasan sebagai Kepala Sekolah.
  2. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf d, dan huruf e dikecualikan untuk Guru yang diberikan penugasan sebagai Kepala Sekolah pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.

Pasal 3

  1. Mekanisme Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah dilaksanakan melalui pengangkatan calon Kepala Sekolah yang dilakukan oleh: (a) pejabat pembina kepegawaian untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya; dan (b) pimpinan penyelenggara satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.
  2. Ayat (4) Tim pertimbangan pengangkatan Kepala Sekolah bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat terdiri atas unsur penyelenggara satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.
  3. Ayat (6) Tim pertimbangan pengangkatan Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh pimpinan penyelenggara satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.

Pasal 4 

  1. Dalam hal jumlah Guru yang memiliki sertifikat calon Kepala Sekolah atau Sertifikat Guru Penggerak di wilayahnya tidak mencukupi, Pemerintah Daerah dapat menugaskan Guru sebagai Kepala Sekolah dari Guru yang belum memiliki sertifikat calon Kepala Sekolah atau Sertifikat Guru Penggerak.
  2. Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan adanya Guru yang memiliki Sertifikat Guru Penggerak.
  3. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dikecualikan untuk penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 

Pasal 6 

  1. Dalam hal jumlah Guru yang memiliki sertifikat calon Kepala Sekolah atau Sertifikat Guru Penggerak di satuan pendidikan yang dikelolanya tidak mencukupi, penyelenggara satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dapat menugaskan Guru sebagai Kepala Sekolah dari Guru yang belum memiliki sertifikat calon Kepala Sekolah atau Sertifikat Guru Penggerak. 
  2. Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan adanya Guru yang memiliki Sertifikat Guru Penggerak.
  3. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dikecualikan untuk penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 

Pasal 7 

Penyelenggara satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dapat melakukan koordinasi antar penyelenggara satuan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. 

Pasal 9

Jangka waktu penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dituangkan dalam perjanjian kerja. 

Pasal 11

  1. Penilaian kinerja Kepala Sekolah pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan setiap tahun dengan hasil penilaian paling rendah dengan sebutan Baik untuk setiap unsur penilaian.
  2. Dalam hal hasil setiap unsur penilaian kinerja paling rendah dengan sebutan Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Kepala Sekolah yang bersangkutan diberhentikan sebagai Kepala Sekolah.
  3. Kepala Sekolah yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikembalikan dalam pelaksanaan tugas Guru.   

Pasal 12

  1. Beban kerja Kepala Sekolah untuk melaksanakan tugas pokok manajerial, pengembangan kewirausahaan, dan supervisi kepada Guru dan tenaga kependidikan.
  2. Beban kerja Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: (a) mengembangkan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik; (b) mewujudkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif; (c) membangun budaya refleksi dalam pengembangan warga satuan pendidikan dan pengelolaan program satuan pendidikan; dan   (d) meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik.
  3. Selain beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Sekolah dapat melaksanakan tugas pembelajaran atau pembimbingan agar proses pembelajaran atau pembimbingan tetap berlangsung pada satuan pendidikan yang bersangkutan.
  4. Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal terjadi kekurangan Guru pada satuan pendidikan.

Share:

POIN-POIN PENTING DALAM KEPUTUSAN MENDIKBUDRISTEK No.262/M/2022 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENDIKBUDRISTEK No.56/M/2022 TENTANG PEDOMAN PENERAPAN KURIKULUM DALAM RANGKA PEMULIHAN PEMBELAJARAN

Struktur Kurikulum SMA/MA/bentuk lain yang sederajat

Struktur kurikulum SMA/MA/bentuk lain yang sederajat terdiri atas 2 (dua) Fase yaitu:

  1. Fase E untuk kelas X; dan
  2. Fase F untuk kelas XI dan kelas XII.

Struktur kurikulum untuk SMA/MA/bentuk lain yang sederajat terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

  1. pembelajaran intrakurikuler; dan
  2. projek penguatan profil pelajar Pancasila dialokasikan sekitar 30% (tiga puluh persen) total JP per tahun.

Pelaksanaan projek penguatan profil pelajar Pancasila dilakukan secara fleksibel, baik secara muatan maupun secara waktu pelaksanaan. Secara muatan, projek profil harus mengacu pada capaian profil pelajar Pancasila sesuai dengan fase peserta didik, dan tidak harus dikaitkan dengan capaian pembelajaran pada mata pelajaran. Secara pengelolaan waktu pelaksanaan, projek dapat dilaksanakan dengan menjumlah alokasi jam pelajaran projek dari semua mata pelajaran dan jumlah total waktu pelaksanaan masing-masing projek tidak harus sama.


FASE E (KELAS X)

Alokasi Waktu Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Alokasi waktu mata pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X SMA dengan asumsi 1 tahun = 36 minggu dan 1 JP = 45 menit.

Alokasi Intrakurikuler Per Tahun = 108 JP; Per Minggu = 108/36 = 3 JP

Alokasi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Per Tahun = 36 JP; Per Minggu = 36/36 = 1 JP

Total JP Bahasa Indonesia Per Tahun = 108+36 = 144/36= 4 JP  sama seperti pada muatan Kurikulum 2013.


Selanjutnya pada Fase F untuk kelas XI dan kelas XII, struktur mata pelajaran dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu:

  1. Kelompok mata pelajaran umum. Setiap SMA/MA/bentuk lain yang sederajat wajib membuka atau mengajarkan seluruh mata pelajaran dalam kelompok ini dan wajib diikuti oleh semua peserta didik SMA/MA/bentuk lain yang sederajat.
  2. Kelompok mata pelajaran pilihan. Setiap SMA/MA/bentuk lain yang sederajat wajib menyediakan paling sedikit 7 (tujuh) mata pelajaran.

FASE F (KELAS XI)

Bahasa Indonesia (UMUM) dengan asumsi 1 tahun = 36 minggu dan 1 JP = 45 menit.

Alokasi Intrakurikuler Per Tahun = 108 JP; Per Minggu = 108/36 = 3 JP

Alokasi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Per Tahun = 36 JP; Per Minggu = 36/36 = 1 JP

Total JP Bahasa Indonesia Per Tahun = 108+36 = 144/36= 4 JP  sama seperti pada muatan Kurikulum 2013.


Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut

Alokasi masing-masing mata pelajaran pilihan (selain mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan) yaitu 5 (lima) JP per minggu atau 180 (seratus delapan puluh) JP per tahun.


FASE F (KELAS XII)

Bahasa Indonesia (UMUM) dengan asumsi 1 tahun = 32 minggu dan 1 JP = 45 menit

Alokasi Intrakurikuler Per Tahun = 96 JP; Per Minggu = 96/32 = 3 JP

Alokasi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Per Tahun = 32 JP; Per Minggu = 32/32 = 1 JP

Total JP Bahasa Indonesia Per Tahun = 96+32 = 128/32= 4 JP  sama seperti pada muatan Kurikulum 2013. 

Penjelasan dari struktur kurikulum SMA/MA/bentuk lain yang sederajat secara umum:

  1. Satuan pendidikan wajib membuka kelompok mata pelajaran umum serta sekurang-kurangnya 7 (tujuh) mata pelajaran pilihan.
  2. Setiap peserta didik wajib mengikuti: (a) seluruh mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran umum; (b) memilih 4 (empat) sampai dengan 5 (lima) mata pelajaran dari kelompok mata pelajaran pilihan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan, disesuaikan dengan minat, bakat, dan kemampuan peserta didik kelas X.
  3. Peserta didik diperbolehkan mengganti mata pelajaran pilihan pada kelas XI semester 2 (dua) berdasarkan penilaian ulang satuan pendidikan terhadap minat, bakat, dan kemampuan peserta didik.
  4. Muatan pelajaran kepercayaan untuk penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif di SMA/MA/bentuk lain yang sederajat menyediakan layanan program kebutuhan khusus sesuai kondisi peserta didik.
  6. Beban belajar bagi penyelenggara pendidikan dengan SKS dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai SKS.
  7. Proses mengidentifikasi dan menumbuhkembangkan minat, bakat, dan kemampuan peserta didik dilakukan oleh guru yang dikoordinasikan oleh guru BK. Jika ketersediaan guru BK belum mencukupi, maka koordinasi dilakukan oleh guru lain.

Capaian Pembelajaran

Capaian Pembelajaran (CP) merupakan kompetensi pembelajaran yang harus dicapai peserta didik pada setiap fase, dimulai dari Fase Fondasi pada PAUD. Untuk Pendidikan dasar dan menengah, CP disusun untuk setiap mata pelajaran.

Bagi peserta didik berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual dapat menggunakan CP pendidikan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus tanpa hambatan intelektual menggunakan CP reguler dengan menerapkan prinsip modifikasi kurikulum. CP untuk PAUD, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, SDLB, SMPLB, SMALB, Pendidikan Kesetaraan (Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C) ditetapkan oleh pemimpin unit utama yang membidangi kurikulum, asesmen, dan perbukuan. 

Pembelajaran dan Asesmen

A. Prinsip Pembelajaran dan Asesmen

Prinsip Pembelajaran. 

Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Prinsip pembelajaran sebagai berikut:  

  1. pembelajaran dirancang dengan mempertimbangkan tahap perkembangan dan tingkat pencapaian peserta didik saat ini, sesuai dengan kebutuhan belajar, serta mencerminkan karakteristik dan perkembangan peserta didik yang beragam sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan; 
  2. pembelajaran dirancang dan dilaksanakan untuk membangun kapasitas untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat; 
  3. proses pembelajaran mendukung perkembangan kompetensi dan karakter peserta didik secara holistik; 
  4. pembelajaran yang relevan, yaitu pembelajaran yang dirancang sesuai konteks, lingkungan, dan budaya peserta didik, serta melibatkan orang tua dan komunitas sebagai mitra; dan 
  5. pembelajaran berorientasi pada masa depan yang berkelanjutan.

Prinsip Asesmen

Asesmen atau penilaian merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Prinsip asesmen sebagai berikut:

  1. asesmen merupakan bagian terpadu dari proses pembelajaran, fasilitasi pembelajaran, dan penyediaan informasi yang holistik, sebagai umpan balik untuk pendidik, peserta didik, dan orang tua/wali agar dapat memandu mereka dalam menentukan strategi pembelajaran selanjutnya; 
  2. asesmen dirancang dan dilakukan sesuai dengan fungsi asesmen tersebut, dengan keleluasaan untuk menentukan teknik dan waktu pelaksanaan asesmen agar efektif mencapai tujuan pembelajaran;
  3. asesmen dirancang secara adil, proporsional, valid, dan dapat dipercaya (reliable) untuk menjelaskan kemajuan belajar, menentukan keputusan tentang langkah dan sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran yang sesuai selanjutnya; 
  4. laporan kemajuan belajar dan pencapaian peserta didik bersifat sederhana dan informatif, memberikan informasi yang bermanfaat tentang karakter dan kompetensi yang dicapai, serta strategi tindak lanjut; dan 
  5. hasil asesmen digunakan oleh peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua/wali sebagai bahan refleksi untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

B. Perencanaan serta Pelaksanaan Pembelajaran dan Asesmen

  1. Asesmen di awal pembelajaran dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar peserta didik, dan hasilnya digunakan untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan tahap capaian peserta didik. Pada pendidikan khusus, asesmen diagnostik dilaksanakan sebelum perencanaan pembelajaran sebagai rujukan untuk menyusun Program Pembelajaran Individual (PPI);
  2. Satuan pendidikan dan pendidik memiliki keleluasaan untuk menentukan kegiatan pembelajaran dan perangkat ajar sesuai dengan tujuan pembelajaran, konteks satuan pendidikan, dan karakteristik peserta didik;
  3. Satuan pendidikan dan pendidik memiliki keleluasaan untuk menentukan jenis, teknik, bentuk instrumen, dan waktu pelaksanaan asesmen berdasarkan karakteristik tujuan pembelajaran;
  4. Apabila pendidik menggunakan modul ajar yang disediakan pemerintah dan/atau membuat modul ajar merujuk pada modul ajar yang disediakan pemerintah, maka pendidik tersebut dapat menggunakan modul ajar sebagai dokumen perencanaan pembelajaran, dengan komponen sekurang-kurangnya terdiri dari tujuan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan asesmen yang digunakan untuk memantau ketercapaian tujuan pembelajaran;
  5. Untuk SMK/MAK, mitra dunia kerja dapat mendukung pembelajaran, asesmen, dan uji kompetensi yang selaras dengan prinsip-prinsip asesmen; dan
  6. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran dan asesmen pada mata pelajaran Praktik Kerja Lapangan (PKL) di SMK/MAK dilaksanakan secara kolaboratif oleh satuan pendidikan dan mitra dunia kerja.

C. Pengolahan Hasil Asesmen

  1. Satuan pendidikan dan pendidik memiliki keleluasaan untuk menentukan strategi pengolahan hasil asesmen sesuai kebutuhan;
  2. Satuan pendidikan dan pendidik menentukan kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran;
  3. Untuk SMK/MAK, satuan pendidikan dan pendidik memilih Kriteria Unjuk Kerja (KUK) yang sesuai dengan konsentrasi keahlian. KUK menjadi kriteria minimum yang harus dicapai peserta didik pada setiap unit kompetensi.

D. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

Projek penguatan profil pelajar Pancasila merupakan kegiatan kokurikuler berbasis projek yang dirancang untuk menguatkan upaya pencapaian kompetensi dan karakter sesuai dengan profil pelajar Pancasila yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan. Pelaksanaan projek penguatan profil pelajar Pancasila dilakukan secara fleksibel, dari segi muatan, kegiatan, dan waktu pelaksanaan.

Projek penguatan profil pelajar Pancasila dirancang terpisah dari intrakurikuler. Tujuan, muatan, dan kegiatan pembelajaran projek tidak harus dikaitkan dengan tujuan dan materi pelajaran intrakurikuler. Satuan pendidikan dapat melibatkan masyarakat dan/atau dunia kerja untuk merancang dan menyelenggarakan projek penguatan profil pelajar Pancasila. 

Dalam 1 (satu) tahun ajaran, peserta didik mengikuti projek penguatan profil pelajar Pancasila yang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) projek dengan tema berbeda di PAUD;
  2. 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) projek dengan tema berbeda di SD/MI/SDLB/Paket A/ bentuk lain yang sederajat;
  3. 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) projek dengan tema berbeda di SMP/MTs/ SMPLB/Paket B/bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA/SMALB/Paket C kelas X/bentuk lain yang sederajat;
  4. 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) projek dengan tema berbeda di kelas XI dan XII SMA/MA/SMALB/Paket C/bentuk lain yang sederajat;
  5. 3 (tiga) projek dengan 2 (dua) tema pilihan dan 1 (satu) tema Kebekerjaan di kelas X, 2 (dua) projek dengan 1 (satu) tema pilihan dan 1 (satu) tema Kebekerjaan di kelas XI, dan 1 (satu) projek dengan tema Kebekerjaan di kelas XII SMK/MAK. Kelas XII pada SMK program 4 (empat) tahun tidak mengambil projek penguatan profil pelajar Pancasila. Untuk SMK/MAK, projek penguatan profil pelajar Pancasila dapat dilaksanakan secara terpadu berkolaborasi dengan mitra dunia kerja, atau dengan komunitas/organisasi serta masyarakat; dan 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan projek penguatan profil pelajar Pancasila diatur dalam panduan yang ditetapkan oleh pemimpin unit utama yang membidangi kurikulum, asesmen, dan perbukuan.

Pemenuhan Beban Kerja Guru pada Satuan Pendidikan Pelaksana Kurikulum Merdeka

Pemenuhan beban kerja guru pada satuan pendidikan pelaksana Kurikulum Merdeka dapat tercapai apabila jumlah guru pada satuan pendidikan pelaksana kurikulum merdeka sesuai dengan kebutuhan. Kepala satuan pendidikan menghitung kebutuhan guru berdasarkan pemenuhan beban kerja dalam struktur Kurikulum Merdeka.

Dalam hal guru tidak dapat memenuhi ketentuan dalam melaksanakan pembelajaran dan pembimbingan paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka per-minggu berdasarkan struktur Kurikulum Merdeka, guru dapat diberikan:

  1. tugas tambahan; dan/atau
  2. tugas tambahan lain yang terkait dengan pendidikan di satuan pendidikan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tugas tambahan lain sebagaimana dimaksud pada angka 2 ditambah dengan tugas sebagai koordinator projek penguatan profil pelajar Pancasila. Tugas tambahan lain sebagai koordinator projek diprioritaskan bagi guru yang masih kekurangan jam pelajaran akibat perubahan struktur kurikulum.

Tugas koordinator projek penguatan profil pelajar Pancasila adalah:

  1. mengembangkan kemampuan, kepemimpinan, dalam mengelola projek penguatan profil pelajar Pancasila di satuan pendidikan;
  2. mengelola sistem yang dibutuhkan oleh pendidik sebagai fasilitator projek penguatan profil pelajar Pancasila dan peserta didik untuk menyelesaikan projek penguatan profil pelajar Pancasila dengan sukses, dengan dukungan dan kolaborasi dari koordinator dan pimpinan satuan pendidikan;
  3. memastikan kolaborasi pembelajaran terjadi di antara para pendidik dari berbagai mata pelajaran; dan
  4. memastikan tujuan dan asesmen pembelajaran yang diberikan sesuai dengan capaian profil pelajar Pancasila dan kriteria kesuksesan yang sudah ditetapkan.

Tugas sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas dibuktikan dengan:

  1. surat tugas sebagai koordinator projek penguatan profil pelajar Pancasila dari kepala satuan pendidikan;
  2. program dan jadwal kegiatan koordinator projek penguatan profil pelajar Pancasila yang ditandatangani oleh kepala satuan pendidikan; dan
  3. laporan hasil kegiatan koordinator projek penguatan profil pelajar Pancasila yang ditandatangani oleh kepala satuan pendidikan.

Beban kerja tugas tambahan sebagai koordinator projek penguatan profil pelajar Pancasila dapat diekuivalensikan dengan 2 (dua) jam tatap muka per 1 (satu) rombongan belajar setiap tahun untuk pemenuhan jam tatap muka paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka per minggu dan paling banyak mengampu 3 (tiga) rombongan belajar.

Dalam hal peserta didik untuk mata pelajaran pilihan lebih dari 36 (tiga puluh enam) peserta didik di SMA/MA/bentuk lain yang sederajat dan SMK/MAK, satuan pendidikan dapat membuka rombongan belajar baru.

Untuk mata pelajaran pilihan kelas XI dan XII, tidak ada syarat jumlah minimum peserta didik untuk membuka/menawarkan mata pelajaran tersebut.

Dalam hal masih terdapat guru:

  1. mata pelajaran Seni dan Prakarya di SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat;
  2. mata pelajaran dari kelompok pilihan di SMA/MA/bentuk lain yang sederajat; atau
  3. mata pelajaran pilihan di SMK/MAK, setelah diberikan tugas tambahan lain sebagai koordinator projek penguatan profil pelajar Pancasila masih tidak dapat memenuhi ketentuan beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka per minggu karena perubahan struktur kurikulum, guru tersebut dapat diakui memenuhi beban kerja 24 (dua puluh empat) jam tatap muka per-minggu jika pada pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan Kurikulum 2013 telah memenuhi beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka per-minggu.

Penataan Linieritas Guru dalam Pembelajaran pada Kurikulum Merdeka Penataan linieritas guru dalam pembelajaran pada Kurikulum Merdeka selain mengacu pada ketentuan mengenai penataan linieritas guru bersertifikat pendidik, juga mengacu pada ketentuan di bawah ini.

  1. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS) Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)/bentuk lain yang sederajat dapat diampu oleh guru yang mempunyai kualifikasi akademik atau sertifikat pendidik Guru Kelas SD.
  2. Mata pelajaran IPAS SDLB dapat diampu oleh guru yang mempunyai kualifikasi akademik atau sertifikat pendidik Guru Kelas Sekolah Luar Biasa (SLB) atau bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)/Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
  3. Mata pelajaran Informatika Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)/bentuk lain yang sederajat dan Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)/bentuk lain yang sederajat pada Kelas X diampu oleh guru yang mempunyai kualifikasi akademik sarjana dan/atau sertifikat pendidik bidang/keahlian sebagai berikut: (a) ilmu komputer; (b) informatika; (c) Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK); atau (d) Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)/sains.
  4. Mata pelajaran Informatika Pilihan SMA/MA/bentuk lain yang sederajat pada Kelas XI dan Kelas XII dapat diampu oleh guru yang mempunyai kualifikasi akademik sarjana dan/atau sertifikat pendidik ilmu komputer atau informatika.
  5. Dalam hal belum tersedia guru mata pelajaran Informatika pada SMP/MTs/bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA/bentuk lain yang sederajat pada kelas X yang memiliki kualifikasi akademik sarjana dan/atau sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada nomor 3, maka mata pelajaran Informatika dapat diajarkan oleh guru yang memiliki sertifikat pelatihan kompetensi informatika..
  6. Mata pelajaran IPA dalam struktur kurikulum pada SMA/MA/bentuk lain yang sederajat pada kelas X sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I huruf A dapat diajarkan oleh guru yang mempunyai kualifikasi akademik sarjana dan/atau bersertifikat pendidik guru Fisika, guru Kimia, dan/atau guru Biologi.
  7. Mata pelajaran IPS struktur kurikulum pada SMA/MA/bentuk lain yang sederajat pada kelas X sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I huruf A dapat diajarkan oleh guru yang mempunyai kualifikasi akademik sarjana dan/atau sertifikat pendidik Sejarah, Geografi, Ekonomi, dan/atau Sosiologi.
  8. Mata pelajaran seni tari, seni musik, seni teater, dan seni rupa di SMP/MTs/bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA/bentuk lain yang sederajat dapat diampu oleh guru yang mempunyai: (a) kualifikasi akademik sarjana pendidikan seni atau sarjana seni dan/atau sertifikat pendidik seni budaya; atau (b) kualifikasi akademik sarjana dan/atau sertifikat pendidik sesuai dengan mata pelajaran seni yang diajarkan.
  9. Mata pelajaran dalam struktur kurikulum SD/MI/bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I huruf A selain: (a) Pendidikan Agama dan Budi Pekerti; (b) Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan (PJOK); (c) Bahasa Inggris; dan (d) Muatan Lokal, diajarkan oleh guru kelas.
  10. Mata pelajaran Bahasa Inggris dalam struktur kurikulum SD/MI/bentuk lain yang sederajat dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I huruf A merupakan mata pelajaran pilihan pada SD/MI/bentuk lain yang sederajat dan SDLB yang dapat diajarkan oleh: (a) guru kelas yang memiliki kompetensi Bahasa Inggris; (b) guru Bahasa Inggris yang tersedia di SD/MI/bentuk lain yang sederajat dan SDLB yang bersangkutan; (c) guru Bahasa Inggris di SD/MI/bentuk lain yang sederajat atau SMP/MTs/bentuk lain yang sederajat dan Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) terdekat yang ditugaskan dan diakui beban kerjanya; atau (d) mahasiswa yang masuk dalam Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
  11. Mata pelajaran Muatan Lokal dalam struktur kurikulum SD/MI/bentuk lain yang sederajat dan SDLB sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II huruf B merupakan mata pelajaran pilihan pada SD/MI/bentuk lain yang sederajat dan SDLB yang dapat diajarkan oleh: (a) guru kelas yang memiliki kompetensi Muatan Lokal; (b) guru Muatan Lokal yang tersedia di SD/MI/bentuk lain yang sederajat dan SDLB yang bersangkutan; (c) guru Muatan Lokal di SD/MI/bentuk lain yang sederajat atau SMP/MTs/bentuk lain yang sederajat dan SMPLB terdekat yang ditugaskan dan diakui beban kerjanya; atau (d) mahasiswa program studi Muatan Lokal (berdasarkan Surat Keputusan Gubernur) yang masuk dalam program Kampus Merdeka.
  12. Mata pelajaran Program Kebutuhan Khusus dalam struktur kurikulum SDLB/SMPLB/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I huruf A dapat diajarkan oleh: (a) guru pendidikan khusus; atau (b) guru mata pelajaran lain atau guru kelas yang telah dinilai layak oleh kepala satuan pendidikan.

Guru yang dimaksud pada huruf b wajib mendapatkan pelatihan kompetensi program kebutuhan khusus (terstandar).



Share:

POIN-POIN PENTING DALAM PERMENDIKBUDRISTEK No. 21 TAHUN 2022 TENTANG STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, JENJANG PENDIDIKAN DASAR, DAN JENJANG PENDIDIKAN MENENGAH

Penilaian Sumatif hanya berlaku bagi peserta didik yang berada di jenjang pendidikan dasar dan menenagah.

Pasal 9 

  1. Penilaian hasil belajar Peserta Didik dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 8 berbentuk: (a) Penilaian formatif; dan (b) Penilaian sumatif.
  2. Penilaian formatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan pada pendidikan anak usia dini, jenjang pendidikan dasar, dan jenjang pendidikan menengah.
  3. Penilaian sumatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan pada jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah.
  4. Penilaian formatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertujuan untuk memantau dan memperbaiki proses pembelajaran serta mengevaluasi pencapaian tujuan pembelajaran.
  5. Penilaian formatif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengumpulkan informasi mengenai: (a) Peserta Didik yang mengalami hambatan atau kesulitan belajar; dan (b) perkembangan belajar Peserta Didik.
  6. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan sebagai umpan balik bagi: (a) Peserta Didik untuk mengembangkan kemampuan dalam memonitor proses dan kemajuan belajar sebagai bagian dari keterampilan belajar sepanjang hayat; dan (b) Pendidik untuk merefleksikan dan meningkatkan efektivitas pembelajaran.
  7. Penilaian sumatif pada jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan untuk menilai pencapaian hasil belajar Peserta Didik sebagai dasar penentuan: (a) kenaikan kelas; dan (b) kelulusan dari Satuan Pendidikan.
  8. Penilaian pencapaian hasil belajar Peserta Didik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan membandingkan pencapaian hasil belajar Peserta Didik dengan kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran. 

Catatan:

Penting untuk diperhatikan bahwa pendidik tidak mencampur penghitungan dari hasil asesmen formatif dan sumatif karena asesmen formatif dan sumatif memiliki fungsi yang berbeda. Asesmen formatif bertujuan untuk memberikan umpan balik pada proses sehingga asesmen formatif bukan menjadi penentu atau pembagi untuk nilai akhir

Dalam mengolah dan menentukan hasil akhir asesmen sumatif, pendidik perlu membagi asesmennya ke dalam beberapa kegiatan asesmen sumatif agar peserta didik dapat menyelesaikan asesmen sumatifnya dalam kondisi yang optimal (tidak terburu-buru atau tidak terlalu padat). Untuk situasi ini, nilai akhir merupakan gabungan dari beberapa kegiatan asesmen tersebut.


Istilah yang digunakan untuk proses pembalajaran yang berlangsung selama satu tahun adalah tahun ajaran.

Pasal 10 

  1. Penentuan kenaikan kelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) huruf a dilakukan dengan mempertimbangkan laporan kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian Peserta Didik pada semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler serta prestasi lain selama 1 (satu) tahun ajaran.
  2. Penentuan kelulusan dari Satuan Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) huruf b dilakukan dengan mempertimbangkan laporan kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian Peserta Didik pada semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler serta prestasi lain pada: (a) kelas V dan kelas VI untuk sekolah dasar atau bentuk lain yang sederajat; dan (b) setiap tingkatan kelas untuk sekolah menengah pertama atau bentuk lain yang sederajat dan sekolah menengah atas atau bentuk lain yang sederajat.

Yang menetapkan mekanisme penentuan kenaikan kelas dan kelulusan peserta didik adalah satuan pendidikan (sekolah).

Pasal 11 

Satuan Pendidikan menetapkan mekanisme penentuan kenaikan kelas dan kelulusan dari Satuan Pendidikan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh kepala unit utama yang membidangi kurikulum dan asesmen. 

Catatan:

Berdasarkan Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka, beberapa hal berikut penting untuk diperhatikan terkait mekanisme penentuan kenaikan kelas.

Satuan pendidikan memiliki keleluasaan untuk menentukan kriteria kenaikan kelas. Penentuan kenaikan kelas  dilakukan dengan mempertimbangkan laporan kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian peserta didik pada semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler serta prestasi lain selama 1 (satu) tahun ajaran.

Untuk menilai pencapaian hasil belajar peserta didik sebagai dasar penentuan kenaikan kelas dapat berdasarkan penilaian sumatif. Penilaian pencapaian hasil belajar peserta didik untuk kenaikan kelas dilakukan dengan membandingkan pencapaian hasil belajar peserta didik dengan kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran. 

Pembelajaran terdiferensiasi sesuai tahap capaian peserta didik menjadi salah-satu praktik yang dianjurkan dalam Kurikulum Merdeka. Penggunaan fase dalam Capaian Pembelajaran adalah salah-satu alasan mengapa peserta didik dapat terus naik kelas bersama temanteman sebayanya meskipun ia dinilai belum sepenuhnya mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam Capaian Pembelajaran di fase sebelumnya atau tujuan pembelajaran yang ditargetkan untuk dicapai pada kelas tersebut. Ilustrasi berikut diharapkan dapat menjelaskan bagaimana proses belajar dalam suatu fase dan lintas fase dapat berjalan seiring dengan kenaikan kelas.

Apabila terdapat tujuan pembelajaran pada mata pelajaran tertentu yang tidak tercapai sampai saatnya kenaikan kelas, maka pada rapor peserta didik tersebut dituangkan nilai aktual yang dicapai dan dideskripsikan bahwa peserta didik tersebut masih memiliki tujuan pembelajaran yang perlu ditindaklanjuti di kelas berikutnya.

Dalam proses penentuan peserta didik tidak naik kelas, perlu dilakukan musyawarah dan pertimbangan yang matang sehingga opsi tidak naik kelas menjadi pilihan paling akhir apabila seluruh pertimbangan dan perlakuan telah dilaksanakan. Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan apabila peserta didik dinyatakan TIDAK NAIK KELAS:

  1. Banyak penelitian menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010).
  2. Dalam survei PISA 2018, skor capaian kognitif peserta didik yang pernah tinggal kelas secara statistik lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak pernah tinggal kelas (OECD, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa mengulang pelajaran yang sama selama satu tahun tidak membuat peserta didik memiliki kemampuan akademik yang setara dengan teman-temannya, melainkan tetap lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena yang dibutuhkan oleh peserta didik tersebut adalah pendekatan atau strategi belajar yang berbeda, bantuan belajar yang lebih intensif, waktu yang sedikit lebih panjang, namun bukan mengulang seluruh pelajaran selama setahun.
  3. Dalam hal terjadi kasus luar biasa, jika terdapat banyak mata pelajaran yang tidak tercapai oleh peserta didik dan/atau terkait isu sikap dan karakter peserta didik, maka satuan pendidikan dapat menetapkan mekanisme untuk menetapkan peserta didik tidak naik kelas. Namun demikian, keputusan ini sebaiknya dipertimbangkan dengan sangat hati-hati mengingat dampaknya terhadap kondisi psikologis peserta didik. 
  4. Tinggal kelas juga memberatkan secara ekonomi. Hasil tes PISA 2018 menunjukkan bahwa di berbagai negara, mayoritas siswa yang pernah tidak naik kelas adalah siswa dari keluarga kelas menengah ke bawah (OECD, 2020). Ketika mereka tinggal kelas, biaya untuk mengulang satu tahun belajar memberatkan keluarga sehingga mereka semakin rentan putus sekolah. 

Beberapa hal yang perlu direfleksikan kembali oleh pendidik sebelum menentukan peserta didik TIDAK NAIK KELAS.

  1. Pendidik perlu memonitor dan mengkomunikasikan sepanjang proses pembelajaran dan bukan hanya di akhir semester/tahun, misalnya terhadap permasalahan kehadiran, seharusnya tidak diketahui di akhir tahun; namun sudah ada intervensi sebelumnya.
  2. Kenaikan kelas/kelulusan bukan menjadi hukuman bagi siswa. Pendidik bekerja sama dengan orangtua untuk mendeteksi permasalahan di sepanjang proses pembelajaran. Dengan demikian jika ditemui permasalahan, maka dapat segera diatasi dan diberikan intervensi.
  3. Pendidik menggunakan umpan balik/refleksi untuk mengetahui dan menentukan strategi untuk membantu peserta didik yang mengalami ketertinggalan pada sepanjang proses pembelajaran.

Impelementasi dai Permendikbud No. 21 Tahun 2022 di atas tertuang dalam Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka berikut.

Share:

POIN-POIN PENTING DALAM PP No. 74 TAHUN 2008 TENTANG GURU DAN PERUBAHANNYA MELALUI PP No. 19 TAHUN 2017

Sertifikasi Hanya boleh diikuti oleh tenaga pendidik lulusan S-1 atau D-IV sebagaimana diatur dalam:

Pasal 4 

  1. Sertifikat Pendidik bagi Guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Masyarakat, dan ditetapkan oleh Pemerintah.
  2. Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya  diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 9

  1. Jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
  2. Program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik.
  3. Uji kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi.
  4. Ujian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan: (a) wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar; (b) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan (c) konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya.
  5. Ujian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat  (3) dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktik pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi  sosial, dan kompetensi profesional pada satuan pendidikan yang relevan.

Pasal 10 A

  1. Setiap orang yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan oleh satuan pendidikan, baik yang sudah atau belum memenuhi kualifikasi akademik S-1/D-IV dan tidak memiliki Sertifikat Pendidik dapat diangkat menjadi Guru.
  2. Pengangkatan Guru yang memiliki keahlian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut: (a) diperuntukkan bagi Guru produktif pada SMK; (b) belum terdapat program studi di perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan di bidang keahlian khusus; dan (c) tidak diperuntukkan untuk mengisi formasi khusus pegawai negeri sipil.
  3. Pengangkatan menjadi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah lulus uji kesetaraan dan uji kelayakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penyetaraan pemenuhan kualifikasi akademik S-1/D-IV.
  5. Uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemenuhan Sertifikasi.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kesetaraan dan uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.  

Pasal 10 B

  1. Sertifikat Pendidik ditetapkan oleh pemimpin perguruan tinggi.
  2. Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diregistrasi oleh Menteri.
  3. Sertifikat Pendidik sah berlaku bagi guru untuk melaksanakan tugas setelah mendapat nomor registrasi Guru.
  4. Calon Guru dapat memperoleh lebih dari satu Sertifikat Pendidik, tetapi hanya diberi satu nomor registrasi Guru.  

Pasal 15 

  1. Tunjangan Profesi diberikan kepada: (a) Guru;  (b) Guru yang diberi tugas sebagai kepala satuan pendidikan; atau (c) Guru yang mendapat tugas tambahan.
  2. Tugas tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: (a) wakil kepala satuan pendidikan; (b) ketua program keahlian satuan pendidikan; (c) kepala perpustakaan satuan pendidikan; (d) kepala laboratorium, bengkel, atau unit produksi satuan pendidikan; (e) pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau pendidikan terpadu; atau (f) tugas tambahan selain huruf a sampai dengan huruf e yang terkait dengan pendidikan di satuan pendidikan.
  3. Dalam hal Guru diangkat sebagai pengawas satuan pendidikan, akan diberikan tunjangan profesi pengawas satuan pendidikan dan tidak diberikan Tunjangan Profesi.
  4. Tunjangan Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat sebagai berikut: (a) memiliki 1 (satu) atau lebih Sertifikat Pendidik; (b) memiliki nomor registrasi Guru;  (c) memenuhi beban kerja; (d) aktif mengajar sebagai Guru mata pelajaran dan/atau Guru kelas pada satuan pendidikan yang sesuai dengan peruntukan Sertifikat Pendidik yang dimiliki; (e) berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; (f) tidak terikat sebagai tenaga tetap pada instansi selain satuan pendidikan tempat bertugas; (g) memiliki nilai hasil penilaian kinerja minimal baik; dan h. mengajar di kelas sesuai rasio Guru dan siswa.
  5. Guru yang memiliki lebih dari 1 (satu) Sertifikat Pendidik dan/atau mengajar lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan hanya berhak mendapat 1 (satu) Tunjangan Profesi. 
  6. Pemenuhan beban kerja sebagai Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dapat diperoleh dari ekuivalensi beban kerja tugas tambahan Guru sebagai berikut: (a) 12 (dua belas) jam tatap muka untuk tugas tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d;  (b) 6 (enam) jam tatap muka untuk untuk tugas tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e; dan (c) paling banyak 6 (enam) jam tatap muka untuk untuk tugas tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f.
  7. Tunjangan Profesi diberikan terhitung mulai bulan Januari awal tahun anggaran berikutnya setelah yang bersangkutan memiliki nomor registrasi Guru dari Menteri. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai rasio Guru dan siswa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h dan ekuivalensi beban kerja tugas tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri. 

Dalam melaksanakan tugas profesional guru guru berhak menerima penghargaan sebagaimana tertuang dalam pasar berikut:

Pasal 30 

  1. Guru memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan sesuai dengan prestasi kerja, dedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di Daerah Khusus.
  2. Prestasi Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: (a) menghasilkan peserta didik yang memenangkan kejuaraan tingkat daerah, nasional, dan/atau internasional;  (b) menghasilkan invensi dan inovasi pembelajaran yang diakui pada tingkat daerah, nasional, dan/atau internasional; dan/atau (c) menjalankan tugas dan kewajiban sebagai Guru dengan dedikasi yang baik sehingga melampaui target kinerja yang ditetapkan satuan pendidikan.
  3. Dedikasi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pelaksanaan tugas dengan komitmen, pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran yang jauh melampaui tuntutan tanggung jawab yang ditetapkan dalam penugasan. 

Pasal 31 

  1. Penghargaan kepada Guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat prestasi kerja luar biasa baiknya, kenaikan  jabatan, uang atau barang, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
  2. Penghargaan kepada Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan, desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, nasional, dan/atau internasional.
  3. Penghargaan kepada Guru dapat diberikan dalam rangka memperingati ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, ulang tahun provinsi, ulang tahun kabupaten atau kota, ulang tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari Guru nasional, dan/atau hari besar lain.
  4. Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh kepala satuan pendidikan, kepala desa, camat, bupati atau walikota, gubernur, Menteri, Presiden, dan/atau lembaga internasional.
  5. Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Ketentuan mengenai bentuk dan pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 35  

Sebagai penghargaan kepada Guru, Pemerintah menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional. Promosi  

Pasal 36 

  1. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, Guru berhak mendapatkan promosi sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
  2. Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kenaikan pangkat dan/atau kenaikan jenjang jabatan fungsional.

Guru diberikan kebebasan dalam memberikan Penilaian, Penghargaan, dan Sanksi kepada Peserta Didik sebagaimana diatur sebagai berikut:

Pasal  37 

  1. Guru memiliki kebebasan memberikan penilaian hasil belajar kepada peserta didiknya.
  2. Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan  standar penilaian pendidikan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
  3. Guru ikut menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38 

  1. Guru memiliki kebebasan memberikan penghargaan kepada peserta didiknya yang terkait dengan prestasi akademik dan/atau prestasi non-akademik.
  2. Prestasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencapaian istimewa peserta didik dalam penguasaan satu atau lebih mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, termasuk pembiasaan perilaku terpuji dan patut diteladani untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian.
  3. Prestasi non-akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pencapaian istimewa peserta didik dalam kegiatan ekstrakurikuler. 

Pasal  39 

  1. Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.
  2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik Guru, dan peraturan perundang-undangan.
  3. Pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan Guru, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan.
  4. Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Guru juga mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual, sebagaimana diatur sebagai berikur:

Pasal  40 

  1. Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, satuan pendidikan, Organisasi Profesi Guru, dan/atau Masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.
  2. Rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Guru melalui perlindungan:  (a) hukum;  (b) profesi; dan (c) keselamatan dan kesehatan kerja.
  3. Masyarakat, Organisasi Profesi Guru, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat saling membantu dalam memberikan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 41 

  1. Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, Masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
  2. Guru berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat Guru dalam melaksanakan tugas.
  3. Guru berhak mendapatkan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dari satuan pendidikan dan penyelenggara satuan pendidikan terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja dan/atau resiko lain. 

Pasal 52 

  1. Beban kerja Guru mencakup kegiatan pokok: (a) merencanakan pembelajaran atau pembimbingan; (b) melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan; (c) menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan; (d) membimbing dan melatih peserta didik; dan (e) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru.
  2. Beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 

Pasal 54 

  1. Beban kerja kepala satuan pendidikan sepenuhnya untuk melaksanakan tugas manajerial, pengembangan kewirausahaan, dan supervisi kepada Guru dan tenaga kependidikan.
  2. Dalam keadaan tertentu selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala satuan pendidikan dapat melaksanakan tugas pembelajaran atau pembimbingan untuk memenuhi kebutuhan Guru pada satuan pendidikan.
  3. Beban kerja pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran dalam melakukan tugas pengawasan, pembimbingan, dan pelatihan profesional Guru ekuivalen dengan paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam pembelajaran tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja kepala satuan pendidikan dan beban kerja pengawas yang ekuivalen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Hal pengangkatan dan penempatan pada jabatan struktural diatur pula dalam pasa sebagai berikut:

Pasal 61 

  1. Guru yang diangkat oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat ditempatkan pada jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, atau jabatan fungsional lainnya yang membidangi pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Penempatan pada jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, atau jabatan fungsional lainnya yang membidangi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah: (a) Guru yang bersangkutan bertugas sebagai Guru paling singkat 8 (delapan) tahun; dan (b) kebutuhan Guru telah terpenuhi.
  3. Guru yang ditempatkan pada jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, atau jabatan fungsional lainnya yang membidangi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kehilangan haknya untuk memperoleh Tunjangan Profesi dan tunjangan khusus.
  4. Guru yang ditempatkan pada jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, atau jabatan fungsional lainnya yang membidangi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditugaskan kembali sebagai Guru dan mendapatkan hak sebagai Guru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. Hak sebagai Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang berupa Tunjangan Profesi diberikan sebesar Tunjangan Profesi berdasarkan jenjang jabatan sebelum Guru yang bersangkutan ditempatkan pada jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, atau jabatan fungsional lainnya yang membidangi pendidikan.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Guru pada jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, atau jabatan fungsional lainnya yang membidangi pendidikan dan pengembaliannya pada jabatan Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Sanksi

Pasal 63 

  1. Guru yang tidak dapat memenuhi Kualifikasi Akademik, kompetensi, dan Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk  memenuhinya, kehilangan hak untuk mendapat tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan.
  2. Guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan tidak mendapat pengecualian dari Menteri dihilangkan haknya untuk mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan.
  3. Guru dan/atau warga negara Indonesia selain Guru yang memenuhi Kualifikasi Akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai Guru yang menolak wajib kerja di Daerah Khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dapat dikenai sanksi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa:  (a) penundaan kenaikan pangkat dan jabatan selama  1 (satu) tahun bagi Guru;  (b) pencabutan tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional selama 2 (dua) tahun bagi Guru; atau (c) pencabutan hak untuk menjadi Guru selama 4 (empat) tahun bagi warga negara Indonesia selain Guru.
  4. Guru yang telah melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) tetapi mengingkari pernyataan tertulisnya dikenai sanksi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa: (a) penundaan kenaikan pangkat atau jabatan selama 4 (empat) tahun; (b) penghentian pemberian tunjangan profesi selama 4 (empat) tahun; (c) penghentian pemberian tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional selama 4 (empat) tahun; atau (d) penghentian pemberian maslahat tambahan selama 4 (empat) tahun.
  5. Guru yang terbukti memperoleh Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dan/atau Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan cara melawan hukum diberhentikan sebagai Guru dan wajib mengembalikan seluruh tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan penghargaan sebagai Guru yang pernah diterima. 


Terdapat beberapa perubahan pada Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2017 yang dapat dicermati pada tautan berikut.

Share:

POIN-POIN PENTING DALAM UU No. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan

Pasal 4 

  1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
  2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
  3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
  4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
  5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
  6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. 

Pasal 6

  1. Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
  2. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. 


Hak dan Kewajiban Orang Tua 

Pasal 7 

  1. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
  2. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. 


Peserta Didik

Pasal 12 

(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: 

  1. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; 
  2. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; 
  3. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; 
  4. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; 
  5. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; 
  6. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. 

(2) Setiap peserta didik berkewajiban:

  1. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
  2. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pendidikan Jarak Jauh 

 Pasal 31 

  1. Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. 
  2. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
  3. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
  4. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 


Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus 

 Pasal 32 

  1. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
  2. Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
  3. Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 


Bahasa Pengantar

Pasal 33 

  1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. 
  2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
  3. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. 

 

Wajib Belajar

 Pasal 34

  1. Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. 
  2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
  3. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. 
  4. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Sumber Pendanaan Pendidikan 

 Pasal 47 

  1. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
  2. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Pengalokasian Dana Pendidikan 

 Pasal 49 

  1. Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 
  2. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 
  3. Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Dana pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Share:

POIN-POIN PENTING DALAM UU No. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk : 

  1. menghormati orang tua, wali, dan guru
  2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 
  3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; 
  4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 
  5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Pasal 26 (Pada UU Perubahan No. 35 tahun 2014)
 
    (1)   Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: 
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; 
b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; 
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan 
d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak. 

Pasal 48

Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.

Pasal 50

Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada :

  1. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
  2. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
  3. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;
  4. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan
  5. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Pasal 51

Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Pasal 52

Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 54 (Pada UU Perubahan No. 35 tahun 2014)

  1. Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
  2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.

Yang dimaksud dengan “lingkungan satuan pendidikan” adalah tempat atau wilayah berlangsungnya proses pendidikan. Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain petugas keamanan, petugas kebersihan, penjual makanan, petugas kantin, petugas jemputan sekolah, dan penjaga sekolah. 

Pasal 64 

Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:

  1. perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; 
  2. pemisahan dari orang dewasa;
  3. pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. pemberlakuan kegiatan rekreasional;
  4. pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;
  5. penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;
  6. penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
  7. pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
  8. penghindaran dari publikasi atas identitasnya;
  9. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
  10. pemberian advokasi sosial;
  11. pemberian kehidupan pribadi;
  12. pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas;
  13. pemberian pendidikan;
  14. pemberian pelayanan kesehatan; dan
  15. pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 67A

Setiap Orang wajib melindungi Anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses Anak terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi. 

Pasal 67B

  1. Perlindungan Khusus bagi Anak yang menjadi korban pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf f dilaksanakan melalui upaya pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental.
  2. Pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

Peran masyarakat:

  1. Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.
  2. Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.


Adapun terkait isi dari Undang Undang No. 35 tahun 2014 dapat dilihat pada lampiran berikut.
Share:

POIN-POIN PENTING DALAM PP No. 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN BAGI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Pasal 2
(1) Perlindungan merupakan upaya melindungi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan: 
a. hukum; 
b. profesi; 
c. keselamatan dan kesehatan kerja; dan/atau  
d. hak atas kekayaan intelektual. 

(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup perlindungan terhadap: 
a. tindak kekerasan; 
b. ancaman; 
c. perlakuan diskriminatif; 
d. intimidasi; dan/atau  
e. perlakuan tidak adil, 
dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, Masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 

Pasal 3 
(1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan kewajiban
a. Pemerintah; 
b. Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya;
c. Satuan Pendidikan;
d. Organisasi Profesi; dan/atau
e. Masyarakat. 

(2) Perlindungan yang dilakukan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Kementerian atau kementerian lain yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pendidikan. 

(3) Dalam melaksanakan kewajiban perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Daerah, Satuan Pendidikan, Organisasi Profesi, dan Masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing wajib: 
a. menyediakan sumber daya; dan 
b. menyusun mekanisme pemberian Perlindungan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 4 
  1. Perlindungan yang dilakukan oleh Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan dalam bentuk advokasi nonlitigasi.
  2. Advokasi nonlitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan fasilitasi penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam bentuk: (a) konsultasi hukum; (b) mediasi; dan/atau (c) pemenuhan dan/atau pemulihan hak Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
  3. Konsultasi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berupa pemberian saran atau pendapat untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan.
  4. Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak.
  5. Pemenuhan dan/atau pemulihan hak Pendidik dan Tenaga Kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat berupa bantuan kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk mendapatkan penasihat hukum dalam penyelesaian perkara melalui proses pidana, perdata, atau tata usaha negara, atau pemenuhan ganti rugi bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Share:

POIN-POIN PENTING DALAM UNDANG-UNDANG No. 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN

Dalam melaksanakan tugas profesionalnya seorang guru terkadang tidak bisa menghindari situasi di mana ia harus berkonflik dengan peserta didik, karena alasan tertentu yang terkadang bersifat sangat manusiawi. Berdasarkan pengalaman menjadi guru, bagian tersulit dalam menjalankan profesi ini bukan pada proses tranfer pengetahuan, tetapi lebih pada upaya membentuk karakter peserta didik agar sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sekolah dan norma umum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak jarang guru dihadapkan pada situasi dilematis, karena harus berkonflik dengan siswa dan orangtua ketika mengawal proses yang cukup krusial ini. Pihak peserta didik, terutama orangtua yang terkadang sulit menerima tindakan guru dalam upaya mendisiplinkan peserta didik sering kali harus berhadap-hadapan dengan pihak sekolah dalam hal ini kepala sekolah untuk menyampaikan komplain bahkan sampai mengintimidasi.

   Alih-alih mendapat pembelaan atau perlindungan, yang sering terjadi justru pihak sekolah mengarahkan guru-guru yang berkonflik dengan peserta didik untuk mengaku salah dan meminta maaf kepada peserta didik dengan dalil undang undang tentang perlindungan anak. Padahal dalam Undang Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen yang lebih spesifik lagi diturunkan dalam PP No. 10 tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, sekolah wajib memberikan perlindungan kepada guru yang mendapat perlakuan tidak baik atau intimidasi dari peserta didik dan orangtua. 

Berikut adalah poin-poin penting yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi guru dalam melaksanakan tugasnya, terutama ketika harus berkonflik dengan peserta didik dan orangtua.

Pasal 14

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

(a) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; 

(f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; 

(g) memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; 

Pasal 20

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:

(a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

(b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

(c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;  

Pasal 39

Perlindungan:

  1. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
  2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
  3. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.  
  4. Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
  5. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

Share:

MAKALAH PRAKTIK PASAR OLIGOPOLI PADA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI

 

Share:

STRUKTUR UPAH

Secara tradisional yang paling menentukan dalam penetapan struktur upah adalah:

  1. Faktor sikap manajer.
  2. Kemampuan organisasi/perusahaan dalam membayar.

Menurut model tradisional penetapan kompensasi berdasarkan jenjang jabatan, bahwa:

  1. Struktur upah ditentukan oleh jenjang posisi/jabatan secara vertikal dan horizontal, yang ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa tugas-tugas dan tanggung jawab setiap unit kerja yang berbeda jenjangnya, tidak sama antara yang satu dengan yang lain. Sedang penetapa unit kerja posisi atau jabatan yang sama jenjangnya, harus bertolak dari asumsi bahwa beban kerja dan tanggung jawabnya relatif sama bobotnya. Beban tugas (volume dan beban kerja) tersebut telah tersedia di dalam deskripsi pekerjaan/jabatan. Dengan demikian berarti juga realisasi penyusunan struktur upah harus mempergunakan hasil analisis pekerjaan berupa deskripsi pekerjaan/jabatan sebagai sumber.
  2. Dari sisi lain perlu pula dilakukan evaluasi pekerjaan, untuk mengetahui beban tugas dantanggung jawab yang real dilaksanakan oleh setiap pekerja, baik yang memangku maupun tidak memangku suatu jabatan. Dengan evaluasi jabatan/pekerjaan adalah suatu proses analisis untuk menentukan tingkat harga/balas jasa yang wajar, dalam usaha menyusun struktur upah/gaji yang adil.
  3. Dalam penyusunan perjenjangan jabatan dari segi bobotnya, yang mencakup berat atau ringannya tugas yang harus dikerjakan, wewenang dan tanggung jawabnya. Dalam penjenjangan itu setiap pekerjaan/jabatan yang bobotnya lebih besar dan wewenang serta tanggung jawabnya lebih berat, harus ditempatkan lebih tinggi dari pekerjaan atau jabatan yang tugas-tugasnya lebih ringan, wewenang serta tanggung jawabnya lebih sederhana 

Selanjutnya dalam penguhpahan untuk pekerjaan atau jabatan yang lebih tinggi, selayaknya diberikan upah yang lebih besar dari pekerjaan atau jabatan yang rankingnya lebih rendah.

Asas kompensasi

Program kompensasi (balas jasa) harus ditetapkan atas asas adil dan layak, serta dengan mempertahankan undang-undang perburuhan yang berlaku. Prinsip adil dan layak harus mendapat perhatian dengan sebaik-baiknya supaya balas jasa yang akan diberikan merangsang gairah dan kepuasan kerja karyawan.

Asas adil

Besarnya kompensasi yang dibayar kepada setiap karyawan harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tanggung jawab, jabatan pekerjaan, dan memenuhi persyaratan internal konsistensi.Jika adil bukan berarti setiap karyawan menerima kompensasi yang sama besarnya. Asas adil harus menjadi dasar penilaian, perlakukan, dan pemberian hadiah atau hukuman bagi setiap karyawan. Dengan asas adil akan tercipta suasana kerja sama yang baik, semangat kerja, disiplin, loyalitas, dan stabilisasi karyawan akan lebih baik.

Asas layak dan wajar

Kompensasi yang diterima karyawan dapat memenuhi kebutuhannya pada tingkat normatif yang ideal. Tolok ukur kompensasi layak adalah realtif, penetapan besarnya kompensasi didasarkan atas batas upah minimal pemerintah dan eksternal konsistensi yang berlaku. Manajer SDM diharuskan selalu memantau dan menyesuaikan kompensasi dengan eksternal konsistensi yang berlaku. Hal ini penting supaya semangat kerja dan karyawan yang qualified tidak berhenti, tuntutan serikat buruh dikurangi, dll.

Untuk menetapkan upah yang wajar/adil, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sbb:

  1. Buatlah perkiraan mengenai kriteria kontribusi (kuantitas dan kualitas) maksimal yang dapat diberikan pekerja dalam setiap pekerjaan/jabatan. Kemudian perkirakanlah upah yang fair berdasarkan kontribusi yang diberikan para pekerja, baik yang maksimal maupun tidak maksimal berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan.
  2. Penggunaan konsep "perbandingan sosial" dalam menetapkan besarnya upah. Konsep tersebut didasarkan pada masukan (input) yang diberikan pekerja berupa keterampilan, pendidikan, usaha/kegiatanya dan lain-lain dibandingkan dengan keluaran (output) yang diperolehnya berupa gaji, promosi, jabatan/status dan lain-lain. Upah dan gaji akan dirasakan wajar/adil jika perbadingan masukan dengan keluaran dirasakan fair atau relatif sama antara seorang pekerja dengan teman sekerjanya, sebagai perbandingan antara individu.
  3. Dalam pelaksanaannya monitor, apakah ada pekerja yang merasa tida puas, karen secara teoritis jika ada pekerja yang merasa diperlakukan tidak adil/tidak wajar, akan berusaha menolak atau memprotes ketidakadilan itu. Salah-satu caranya adalah dengan memonitor apakah dalam bekerja ada pekerja yang secara sengaja mengurangi masukan (input) yang diberikannya, karena merasa keluaran (output) yang diperolehnya tidak seimbang. Misalnya dengan mengurangi kegiatannya atau mungkin berupa keinginan keluar dari organisasi, untuk mencari pekerjaan pada organisasi/perusahaan pesaing.

Perbedaan dalam strategi kompensasi, disebabkan oleh:

1. Strategi bisnis yang tidak sama

Perusahaan/organisasi yang sedang tumbuh dan berkembang secara cepat strategi bisnisnya difokuskan pada tujuan memperkuat investasi untuk terus berkembang, dengan melaksanakan strategi bisnis yang konsisten, untuk itu diperlukan strategi kompensasi yang dapat merangsang pelaksanaan manajemen yang bersifat berani dalam berbisnis. Strategi kompensasinya harus mampu menciptakan kemandirian (interpreunership) yang tinggi pada para manajernya.

2. Posisi pemasaran dan kematangan dalam berbisnis.

Strategi bisnis dan kemampuan perusahaan mewujudkannya, membawa pada kenyataan berupa posisi pemasaran dan kemungkinan pengembangannya di masa depan. Kenyataan ini berarti realitas dalam melaksanakan strategi bisnis, yang bermanifestasi pada jumlah keuntungan yang dapat dicapai dalam memasarkan produknya. Setiap organisasi/perusahaan tidak dapat lain harus menyesuaikan sistem kompensasinya dengan kenyataan tersebut, baik berdasarkan posisi pasarnya sekarang, maupun pengembangannya di masa yang akan datang.

Struktur pembayaran internal:

  1. Level pekerjaan
  2. Pembayaran berbeda di antara level
  3. Kriteria yang digunakan:

  • Content and value (taks, behaviors, knowledge required, etc)
  • Use value and exchange value (different geographies and external market)
  • A job based structure (taks, behaviors, responsibilities) and a person based structure (skill, knowledge, competencies)

Share:

Pengunjung:

Postingan Populer

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog